Di ruangan kamar yang baru ditempatinya, Bagas kembali terduduk diam. Ranselnya masih tergeletak disampingnya. Bagas berusaha menerima kepedihan ini sebagai bagian dari kisah hidupnya. Sebagai manusia biasa, ia ingin menjerit, tapi tak bisa. Hatinya merasakan kesepian yang begitu dalam pada kesendiriannya. Ia harus menjalani lagi setiap hari-harinya tanpa siapapun, tanpa mencintai dan dicintai oleh siapapun. Semua itu adalah yang terbaik untuk hidupnya yang diberikan semesta padanya. Kebutaan mata tak menghalanginya terus melangkah, dan sebuah tongkat kecil menemani kedua kakinya mengarungi setiap jalan yang akan dilaluinya. Indra pendengaran semakin tajam terasah, Bagas bisa memetakkan setiap kondisi di sekitarnya meskipun tanpa penglihatan. Hidupnya yang telah berlangsung lama membuat dirinya lebih akrab mengenal isi dunia. Bagas menuliskan semuanya itu dalam setiap karya tulisannya yang di setiap zaman ada, hanya saja orang tidak mengenalnya. Dalam mimpinya, bayangan Meteor Pegassus selalu hadir di langit malam. Bagas selalu terpaku kagum setiap kali melihat kemegahan Meteor Pegassus ketika melintas dekat di atas kepalanya, lalu mengibaskan ekornya menerpa halus di wajah Bagas. Begitu terasa indah dengan warna-warni cemerlang layaknya serbuk intan yang bertebaran sempurna terhiasi cahaya.
Dari semenjak mimpi itu ada, Bagas kian sadar bahwa dirinya manusia pilihan, yang terpilih ntah karena apa alasannya untuk menjadi abadi dalam tubuh usia 25 tahun, yang menempuh setiap zaman tanpa sakit penyakit dan tanpa menua sedikitpun. Bagas menjalani setiap harinya seperti yang sudah-sudah, menulis dan mengekspresikan dirinya lewat tulisan. Jari-jemarinya sangat lihai memainkan huruf, kata dan kalimat menjadi sebuah sastra. Kesendirian masih menjadi sahabatnya. Kesepian adalah teman bicaranya, lewat tulisan ia ekspresikan semuanya, lewat kata-kata ia ungkapkan semuanya. Ibu, inilah aku anakmu. Anakmu yang terhempas dari waktu. Teraniaya dalam kesepian yang kini sudah menjadi teman. Terkurung di satu tubuh yang tak akan pernah mati. Ibu, inilah aku anakmu. Seorang anak yang setiap detik merindukanmu. Dalam kebutaan mataku aku selalu melihatmu. Aku masih merasakan moment itu. Sebuah moment yang tak akan pernah ku lupa. Sewaktu kau ada memelukku hangat. Menggenggam tanganku erat. Ibu, inilah aku anakmu. Yang berkelana melintasi zaman. Yang bermain-main dengan waktu. Yang melihat bintang setiap malam. Yang merasakan indahnya rembulan. Yang setia menanti datangnya mentari. Ibu, inilah aku anakmu.
Di ruang kamarnya, Bagas masih mengurung diri. Ia berusaha tidak mengutuk dirinya sendiri. Ia ikhlas menerima semua yang terjadi, meskipun jalan kesendirian dan dinding kesepian selalu bersamanya, ia berjanji tabah.