Astuti yang kini hidup menjanda di masa tuanya, tak pernah mengira ia akan melihat lagi sosok itu berdiri dihadapannya. Sosok lelaki yang dulu sangat dicintainya, yang pergi meninggalkannya begitu saja. Setelah puluhan tahun berlalu, kenangan itu tak pernah sirna. Ntah apa yang terjadi pada penglihatanku. Ketika aku melihatmu, aku melihat dia. Dia yang telah pergi, dan tak pernah berjanji untuk kembali. Dia yang mencintaiku, tapi pergi meninggalkanku. Aku melihat sorot matanya di ujung matamu. Sorot mata yang persis sama seperti dulu. Sorot mata yang tak pernah bisa kulupakan. Aku masih bisa mengingat jelas semuanya. Tentang cerita cinta kita. Cerita yang tak akan usang di relung qalbu-ku, juga di masa tua-ku
Bagas tak pernah mengira bahwa saat itu ia akan bertemu lagi dengan Astuti. Takdir yang membuat mereka bertemu lagi. Marlinna kini tahu betapa besar cinta ibunya pada sosok lelaki itu. Ia masih mengharapkannya kembali, tapi Bagas berkata bahwa ayahnya sudah lama mati. Sosok ayahnya-lah yang saat itu meninggalkan Astuti, dan mereka percaya, karena tidak mungkin seseorang bisa hidup abadi. Sedih hatinya Astuti ketika tahu bahwa sosok itu telah mati, tapi rasa itu bisa sedikit terobati ketika melihat sosoknya hidup kembali dalam diri Armand, sosok lelaki lain yang dicintai anaknya. “Ibu restui hubungan kalian.” kata Astuti setelah mereka selesai makan bersama di meja makan. “Terima kasih, Ibu.” balas Marlinna dengan bahagia hati, lalu menggenggam tangannya Bagas, dan menunjukkan kemesraan mereka di depan Astuti. Saat itu Bagas lebih banyak diam, dan berusaha tegar melihat Astuti. Meskipun wajah perempuan itu sudah tak muda lagi, tapi masih tersirat kecantikan sejati di balik senyumnya. Senyuman manis yang tak pernah bisa hilang dalam bayang-bayang masa lalu. Senyuman itu masih tetap sama tak tergerus roda waktu.
Setelah beberapa jam menjalin kebersamaan ngobrol bareng, kini saatnya Bagas pulang. Setelah pamitan, Marlinna mengantarkan Bagas sampai ke depan gerbang rumahnya. “Terima kasih. Kehadiran kamu udah membuat aku dan ibuku bahagia hari ini.” kata Marlinna diiringi senyuman, “Hati-hati di jalan.” lanjutnya lagi. Bagas mengangguk pelan, “Ibumu wanita hebat. Kamu beruntung lahir dari rahim ibu seperti beliau. Jaga perasaan ibumu. Jangan biarkan ia bersedih hati.” Marlinna mengangguk pelan, lalu sejenak terdiam heran mendengar ucapan Bagas barusan, sepertinya Bagas sudah sangat mengenal ibunya, padahal baru beberapa jam mereka bertemu.
Astuti, maafkan aku. Waktu itu aku harus pergi, bukan karena aku tidak mencintaimu. Kau dan aku berbeda. Meskipun kita berada di dunia yang sama. Takdir kita berbeda. Saat-saat inilah yang aku khawatirkan. Ketika aku merasakan engkau menua dan tubuhmu melemah. Ketakutanku ialah melihatmu pergi ke tempat yang tak bisa ku jangkau, karena aku akan lama berada di sini. Astuti, maafkan aku. Kehilanganmu akan terasa berat bagiku. Untuk itulah aku tidak akan kembali padamu. Hapuskan aku dari kenanganmu, karena itu yang terbaik untuk hidupmu
Pertemuannya dengan Astuti, telah menyisakan beban yang teramat berat bagi Bagas. Ia yang sedari awal tak ingin merasakan pilu di saat seseorang yang dicintainya menua termakan usia, kini malah jelas berada di hadapannya. Mungkin inilah saat yang tepat bagi Bagas untuk pergi jauh dari kota ini, berkamuflase menjadi sosok yang lain, status yang berbeda, begitu juga dengan nama yang baru. Bagas mengemasi barang-barangnya, dan akan pergi saat itu juga, ketika telfonnya berdering.