Gubuk kecil itu adalah saksi bisu kenangan Bagas dan Astuti ketika mereka menghindari hujan. Gubuk itu masih terlihat sama seperti dulu, karena Astuti memeliharanya dengan baik. Dengan uang yang dimilikinya, Astuti mempertahankan keaslian gubuk itu, dari mulai kayu-nya, tekstur dan posisinya, semua itu ia lakukan supaya kenangan indah tak mati seiring dengan hancurnya si gubuk tua. Puluhan tahun telah berlalu, dan Astuti masih mengingat kenangan itu, ketika mereka berteduh di saat hujan turun dengan derasnya, lalu Bagas menggandeng tangannya, dan memeluknya erat ketika terdengar suara gledek menggelegar kencang, dan petir yang saling menyambar-nyambar di langit hitam. Masih terngiang di telinganya, ketika hujan mereka, dan Bagas nyatakan cintanya dengan satu pelukan. Saat itulah moment paling bahagia yang masih terasa dalam hidup Astuti sampai sekarang, ketika lelaki itu membalas cintanya dalam diam. Mereka beranjak memasuki area teras kecil gubuk, dan sejenak mereka berdiri di sana, membayangkan hujan mengguyur deras saat itu, meskipun musim masih kemarau. Astuti meletakkan kepalanya di bahu kiri Bagas, lalu menggandeng tangannya. “Kamu tahu, apa yang membuat aku bertahan selama ini, meskipun kamu tak ada di sisiku…?” tanya Astuti memulai pembicaraannya, dan Bagas hanya menggeleng pelan, “Kenangan indah kita. Apa kamu tidak merasa bosan hidup terlalu lama?”
Bagas yang sedari tadi terpaku, kini mulai bicara, “Hampir setiap saat aku merasa bosan, aku memimpikan mati, tapi nyawa ini seakan lekat dengan ragaku.” Astuti tersenyum kecil, lalu wajahnya berubah sendu, “Dokter bilang, penyakitku sudah bertambah parah. Hidupku akan berakhir, ntah hari ini, besok, atau lusa, mungkin juga minggu depan, bulan depan, aku tak tahu. Tapi jika aku mati, aku ingin mati dipelukan kamu. Kematian tak lagi membuatku takut, karena harapanku melihatmu lagi sudah terkabulkan. Seandainya nyawa ini keluar dari ragaku sekarang, aku ingin hembusan terakhir nafasku mengenai dadamu, supaya kamu mengenangku.” kata Astuti pelan, ada rasa bahagia di balik airmatanya, “Kenanglah aku, karena aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupmu.”
Bagas terdiam seribu bahasa, ia merasakan kata-kata itu mengalir lurus ke dalam sanubarinya, kata-kata indah yang terucap dari bibir seorang wanita yang sangat mencintainya. Hidup terlalu singat untuknya, sehingga ia tak punya banyak waktu menjalani kebersamaan dengan Bagas.