Dalam tidurnya, Bagas seperti dibawa kembali ke masa lalunya. Kesadarannya terusik ketika ia berubah menjadi bola cahaya kecil yang keluar dari badannya yang telah binasa di dasar jurang. Ya Tuhan, aku bisa melihat jelas semuanya…! Mataku tidak buta lagi. Bagas sangat bahagia, namun rasa itu mendadak surut, ketika ia melihat jasadnya sendiri terbujur kaku di bawah sana, berdarah-darah dan retak, sangat mengerikan. Inikah rohku? Bagas merasa dirinya begitu ringan dan melayang-layang di alamnya. Ia juga melihat banyak butir-butir cahaya yang keluar dari segala penjuru bumi. Apakah mereka sepertiku? Apakah mereka orang-orang yang sudah mati? Kemana aku akan pergi?
Kesadaran membuatnya terjaga, ketika kakinya menapak di atas tanah alam lain yang begitu indah. Anginnya begitu sejuk. Pepohonan dan binatang-binatang di sana terkesan ramah dan tak merasa terusik dengan kedatangan Bagas. Ada satu bintang terang yang menerangi semuanya, dan bintang itu bukan matahari, melainkan satu cahaya besar tak berwujud. Ada pula danau yang air-nya tenang. Inikah surga? Mana penghuninya? Kenapa kosong? Bagas melangkah bertelanjang kaki. Ia merasakan tanah yang lain, tidak seperti tanah yang diinjaknya di alam nyata. Tanah itu terasa lembut, tapi bukan pasir. Bagas melihat ke sekelilingnya, sungguh terasa damai dalam kesunyian. Ia tak merasakan takut, melainkan merasa kenyamanan yang tak terkira..
Sejenak Bagas terpaku diam ketika melihat dari kejauhan ada satu sosok manusia yang melihatinya, “Ibu…?” tanya Bagas bergumam kecil. Bahagia hatinya ketika ia merasa yakin sosok itu adalah sosok ibunya. Perlahan namun pasti sosok itu nampak semakin jelas. Memang benar, ia-lah Ibunya Bagas, berdiri menatap Bagas dengan senyuman ramah dan kedamaian. “Bagas, anakku.” kata Ibunya begitu lembut. Sekujur tubuh Bagas gemetar. Ia tak kuasa menahan emosi rindu pada Ibunya, “Ibuuu…!” teriak Bagas sambil berlari menghampiri Ibunya. Tiba-tiba langkahnya tertahan beberapa meter dari sosok Ibunya. Bagas terpaku heran, “Ibu, kenapa aku tak bisa menghampirimu?” Ibu kembali tersenyum kecil pada anak yang selama hidup sangat dikasihinya, "Belum saatnya, Nak.”
“Sejak aku dilahirkan, aku belum pernah melihatmu. Inikah wajahmu, Ibu?” tanya Bagas. Ibu mengangguk kecil, “Iya, Nak. Ini Ibumu.” Bagas terkesima, “Kamu cantik, Bu.” Ibu kembali tersenyum menanggapi tatapan Bagas, lalu Ibu kembali berucap lagi, “Kembalilah, Nak. Pulanglah ke duniamu. Waktumu di sini sudah cukup." Ibu berhenti tersenyum, dan Bagas mendadak heran melihat wajah Ibunya berubah sendu. Bagas merasakan ada sesuatu yang menarik tubuhnya semakin jauh dari sang Ibu. Sesuatu itu bukanlah seorang sosok. Sesuatu itu adalah alam itu sendiri. Ia menarik Bagas keluar dari sana, semakin jauh dan jauh dari Ibunya. “Ibuuu…!” teriak Bagas memanggil Ibunya lagi, tapi beliau hanya terpaku di tempatnya. “Ingatlah Ibu, Nak…! Jangan lupakan aku, Ibumu...” katanya dan sosok itu menghilang tertelan kabut alam. Bagas terpaku diam, dan sangat kehilangan sosok ibunya, “Ibu.” kata Bagas mulai menyerah kalah, lalu ia pasrahkan dirinya di tarik keluar dari alam itu. Menjauh dan semakin menjauh sampai alam itu hilang tertelan lubang kegelapan, begitu juga dengan diri Bagas yang di telan masuk kedalamnya. Bagas terpaku pasrah mengikuti arus meliuk-liuk seperti berada di dalam perut ular. Rongga kegelapan itu sangat panjang seperti tak berujung, dan Bagas masih tersedot di dalamnya. Samar-samar Bagas melihat ada orang lain bersamanya. Orang itu berada cukup jauh darinya, tapi Bagas meyakini orang itu adalah sosok perempuan, dan Bagas mengenalnya. Ia-lah Ayu. Bagas kaget, kamu kah itu…? Ayu juga menatap Bagas, dan ia pun terkejut ketika mata saling beradu tatap. Peristiwa itu terjadi begitu cepat, Bagas dan Ayu terpisahkan dalam pekatnya gelap.
Kembali pada kondisi sadarnya, Bagas berada dalam posisi menjadi cahaya melihati jasadnya. Ia terpaku melihat wajahnya yang telah mati. Sesaat kemudian debu-debu intan gemerlapan hadir tersembur dari tubuh Komet Pegasus. Debu-debu itu menyelubungi tubuh Bagas dan mengembalikan setiap sel-nya yang telah mati. Luka-luka itu sembuh tak terlihat berdarah lagi. Perlahan namun pasti cahaya Bagas kembali merasuki tubuhnya sendiri. Ia kembali hidup. Ia kembali bernafas. Bagas mulai merasakan tubuhnya lagi.
***