Bab 5
Selepas sepatuku kubuka, ayah mulai bercerita padaku. “Semua orang pasti akan bahagia di dunia ini, mereka mengalami berbagai kesulitan dalam hidup ini. tapi, untung saja setiap orang memiliki caranya sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan yang di ambil.”
Aku merasa tersentuh pada kata-kata ayah “Takdir setiap orang sudah ditentukan bukan?”
“Kamu berkata benar. Dulu ayah dan ibumu telah berjuang semampu kami dan akhirnya kita berada di titik ini, ada dari mereka yang katanya keluarga kita meninggalkan kita sendirian di saat keterpurukan itu datang.”
“Bagaimana ayah bisa menyatakan seperti ini.” Aku penasaran.
“Awalnya aku tak tahu harus berbuat apa untuk hidup keluarga kita, tapi Allah membuatku kuat. Aku yakin bahwa semua cobaan ini ada hikmahnya, sampai akhirnya aku mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai PNS,” kata ayah pelan.
Terkadang hari esok akan datang menemui setiap manusia bukan hanya untuk sekedar menawarkan kehangatan disaat matahari terbit dan memberi kesempatan untuk merebahkan diri kala senja tiba namun dalam sehari kita berkesempatan untuk melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga dan orang-orang di sekitar. Aku percayakan semua pada Allah, aku tahu aku orang lemah yang terus menaruh harapan pada binbingan Allah dan terus berusaha akan mensyukuri pada takdirNya. Aku yang terus menatap langit-langit rumah. Manusiapun tidak akan berpisah dengan peraduan senja dan waktu untuk selamanya, mentari masih saja berwujud semangat untuk menyatakan bahwa hari ini datang lagi dan ini akan berjalan dengan sempurna dan alami, aku harap suatu saat aku tidak hanya menjadi cerita untuk kisah yang kelam dengan derai air air mata bercampur renai hujan di bulan Januari atau mengendiri di tanah kering sambil memandang musim kemarau yang datang di bulan Agustus. “Ahh aku bisa saja melamun hingga tak sadarkan diri,”
“Boleh aku membantu, untuk sedikit mengurangi bebanmu?” entah kenapa niat baik ayah itu datang lagi kala urat nadiku sudah tercampur dengan banyaknya cerpihan-cerpihan keraguan. Aku bahkan masih memiliki orangtua yang hidup kami kurang dari “berkecukupan” namun kenapa aku tak pernah merasa baik-baik saja seperti orang lain yang bersyukur banggat atas pemberian yang diterima.
“Tidak perlu ayah, aku akan berusaha sendiri.” Jawab ku penuh keyakinan, mata ayah menatapku seperti berusaha meyakinkanku bahwa dirinya bisa melakukan hal-hal yang tak bisa ku lakukan sendiri.
“Aku tahu, aku bukanlah pengelamatmu disaat ini tapi aku mampu kok untuk hanya menjadi seorang penunjuk jalan agar kamu tak tersesat di tengah jalan,”