Bab 7
Aku duduk di teras rumah, memegang sebuah buku yang filsafat yang aku beli saat masih di seminari. Awalnya aku heran, bahkan melihat tulisan yang pernah aku warnai dengan stabilo di tengah buku. “Bagaimana aku bisa mengerti dan menjalankannya”. Pikirku. Namun, karena rasa ingin mengerti mengerti terus menghantuiku aku menelaah tulisan itu dengan merefleksinya, terdapat juga kalimat lain yang membawa pikiranku terbang tanpa arah. Ada kalimat yang dengan expressi bahasa latim dan membuatku harus focus pada tiap halaman, semakin aku baca betapa indah setiap ungkapan di dalam buku itu.
Aku terkejut karena kehadiran sosok pria di sampingku yang kuyakini itu pasti ayah. Aku menoleh ke arahnya, namun ia memalingkan pandangannya dariku dan melihat indah bintang malam ini. Aku kembali membuka buku itu dan membacanya. Ayah duduk di sampingku dengan jarak yang sedikit jauh, aku tahu bahwa dia sedang memperhatikanku. Kubiarkan ayah yang terus memperhatikanku. “Untuk apa engkau terus membaca buku yang hanya membawa kita ke sebuah dinding keraguan?” tanya ayah membuatku tersentak.
“Hmmm… Aku penasaran ayah, kenapa setelah beberapa bulan tidak membaca buku ini hatiku menjadi tidak tenang dan fikiranku menjadi tidak rileks ayah.”
“Kamu pasti dibuat bingung lagi sama buku itu.” Kata ayahku.
“Ayah kok, bisa bilang gitu.”
“Ya, enggak salahkan. Coba bayangin ya, aku bukan peminat filsafat tapi aku menjalani hidup berfilsafat, aku tidak pernah tahu tentang filsafat itu apa, tapi aku bisa menjelaskan hidup yang aku jalani dengan apa yang aku gapai”. Ucap ayah yang diiringi senyum.
“Ayah…tidak salah jugakan kalau aku membacanya,”
“Teruslah membacanya, sampai kau temukan petunjuk yang mampu membuatmu bahagia”. Ucap ayah didampingi dengan senyum kecil di bibirnya lalu pergi meninggalkanku yang penuh tanya.