Bab 8
Hari itu, hari Senin 9 Januari 2017. Hari yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Hari dimana aku bekerja sebagai seorang, wartawan, penyiar dan penulis di tempat yang tidak asing bagiku. Tempat itu sudah menjadi wadah bagiku sebagai penulis lepas kala saya masih di seminari. Pertama teman-temanku yang dulu sering bertemu mengambutku dengan kata-kata “welcome to the real life” seterusnya karena mereka sudah tahu yang sebenarnya bahwa aku bukan lagi seorang frater seperti dulu.
Jangan salah, aku adalah anak perantau disaat umurku yang cukup belia saat itu (12 Tahun). Saat pertama kalinya aku harus jauh dari orang tuaku dan memulai kehidupan baru sebagai seorang anak SMP. Lalu, saat SMA aku harus kembali berkelana di kota Liquiça, yah kembali rantau. Lihatlah, pengalaman berantauku ini cukup bisa menggambarkan betapa berani dan mandirinya aku kan? Bayangkan bukan saja itu, selama 12 tahun menjadi anak asrama di Seminari Menengah hingga Seminari Tinggi, bukankah itu luar biasa? Terbiasa hidup mandiri, segalanya dikerjakan sendiri, dan hal luar biasa lainnya.
Tapi, kali ini berbeda. Aku benar-benar harus menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.. apakah aku terdengar lebay? Hanya satu pikiranku saat itu, tepatnya pagi itu saat aku tiba di tempat kerjaku yang pernah aku menjadi penulis lepas. Semoga aku bisa bertemu Chandra lagi ditempat pertemuan pertama kami.
Akhirnya seorang temanku yang dulu kami sama-sama diseminari, yang kini sudah menjadi diakon menghampiriku dan berkata bahwa aku dapat masuk ke dalam untuk bertemu dengan bagian administrasi untuk mengurus segala keperluanku selama bekerja sebagai wartawan dan penulis.
Singkat cerita, setelah mengisi berbagai dokumen yang diperlukan selama kontrakanku berlangsung, seorang pastor, beliau adalah kakak kelas kami, menghampiriku dan memberikanku ID Card berwarna biru dan sebuah kaos berwarna biru. Baju biru tersebut adalah seragam wajib yang harus selalu aku gunakan selama aku bekerja di stasiun radio itu.
Hari pertamaku berlalu tanpa kesan yang berarti. Aku tidak perlu diperkenalkan kepada semua “penghuni” di Radio Timor Kmanek (RTK), karena kami semua sudah saling kenal sejak dulu, kala aku menjadi seorang penulis lepas. Kami mengobrol singkat, lebih tepatnya aku lebih berperan sebagai pemberi jawaban dibandngkan dengan pemberi pertanyaan.