BAHAGIA BERSAMAMU

Mário de Oliveira Pires
Chapter #10

Chapter tanpa judul #10

Bab 10

Keadaan masih belum berubah, meski aku tahu Chandra pasti tidak berkepanjangan memarahiku. Aku masih bertahan tidak menghubunginya, bukan berarti aku menolak bicara dengannya. Tapi aku merasa perlu membawanya keluar dari rasa sakit yang ia rasakan. Rasa bersalah yang aku buat memenjarakannya dalam kemarahan besar.

Sabtu sore, aku memberanikan diri untuk menghubunginya, mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang sudah lama sudah direncanakan untuk mengunjunginya, aku menjemputnya ke rumah dengan sebuah sepeda motor pinjaman, kami ke sebuah bukit di sudut kota yang tak begitu jauh dari rumah. Dan seperti yang sudah aku rencanakan, aku akan menjelaskan semuanya tentang apa yang sudah ku perbuat, kami hanya berdiri mematung saat tiba di bukit itu, dan sesekali mendongak ke langit. Di belakangnya aku hanya bisa menerka-nerka, barangkali kau sedang bercerita, tentang hari-hari berat yang harus kau tempuh dalam menghadapiku. Atau mungkin kau sedang menyampaikan bahwa selama ini aku sudah melukai hatimu gara-gara tidak memberitahukan sesuatu yang aku hadapi, kami tidak pernah benar-benar sendirian sekarang. Sebab kami saling mendukung satu sama lain sejak kejadian itu, aku akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Dari sana aku kemudian menyimpulkan, sekira lima belas menit lagi azan magrib akan berkumandang. Itulah saat dimana kau akan memutuskan untuk beranjak dari tempatmu berdiri, pulang.

Belum juga lima menit berjalan, rintik hujan turun perlahan. Beruntung aku sudah mempersiapkan kemungkinan untuk itu. Maka kudekati kau yang masih bergeming, lantas kukembangkan payung persis di atas kepalanya. Kali ini ia tidak harus menunggu magrib.

“Mari pulang.” Suaranya lantang.

“Biar kita kehujanan disini”

“Sebentar sakit.” Katanya perhatian.

“Percaya padaku, kamu juga pasti akan mengerti.” Kataku pelan.

“Mengerti apanya,” jawabnya singkat.

“Meski aku tahu kau tak akan menjawabnya, tapi toh kalimat itu keluar juga. Iya, bagiku sudah tidak penting lagi kau bakal menjawabnya atau tidak. Sebab urusanku denganmu, sudah bukan lagi perihal kata-kata.” Kataku mantap.

Lihat selengkapnya