①
Mari kita Mulai.
Dua tahun kemudian, setelah beres dari sekolah SMA. Tepatnya pada tahun 2020, aku belajar ngaji bersama guru-guruku. Kadang di pesantren, dan seringnya di rumahku. Kata teman aku mah, ngaji seperti itu namanya ngalong.
Walaupun indentitasku ngalong, kalo sudah waktunya ngaji, aku gak pernah absen. Disinilah aku mulai memahami cara membaca Al-Quran yang benar, aku juga diajarkan bahasa arab, dan juga di ajarkan cara memahami isi kitab, yang tak ada barisnya. Mungkin, kamu pernah belajar juga kitab gundul.
Kata guruku, setelah kumendapatkan ilmu darinya amalkan walaupun sedikit. karna yang diambil bukan banyak atau sedikitnya, tapi maslahat dan manfaatnya, serta yang lebih tinggi, berkah dari ilmu itu sendiri. begitulah guru memberi nasihatnya padaku.
Kamu harus tau guruku yang satu ini, namanya Ustadz Dani. Ia lulusan 4 pesantren. Umurnya denganku berbeda 5 tahun, aku 20, dan beliau 25. Beliau ustadz muda yang pemikirannya luas, tinggi wawasan, dan pemikirannya yang jenius.
Kalau aku nanya tentang apapun, pasti dijawab. Untukku, beliau jawabannya jauh lebih akurat, dibandingkan harus searching ke google, yang banyak kontroversi. Jadwal aku ngaji dengannya seminggu sekali, setiap selesai isya, dan tempatnya dirumahku.
Masuklah jadwal ngaji dengannya, yang mengaji hanya 5 orang saja. Aku, Mahara, Dimas, ustadz, dan santri yang ikut bersama Ustadz Dani.
Seperti biasanya kita mengaji Al-Quran terlebih dahulu, lalu tahsin. Setelah tahsin Qur’an, beliaupun bercerita tentang seputar Al-Quran. Bahwa Al-Quran ini adalah kitab penyempurna, dari semua kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya.
Begitupun dengan nabi yang diutusnya, ia menjadi penutup semua para nabi, dan juga menjadi nabi yang paling termulia, siapa lagi kalau bukan Nabi Muhammad Saw.
Singkatnya selesailah beliau bercerita. Lalu dilanjut dengan pertanyaan-pertanyaan dariku, dan teman-teman seumuran denganku, untuk bertanya. Untuk pertanyaannya Random.
Ketika teman-temanku yang lain sudah bertanya, giliranku untuk bertanya pada beliau. Kutanya, Ustadz, aku pernah menemukan pertanyaan filsuf dalam buku, kata filsuf itu, bisa gak Tuhan menciptakan batu yang lebih besar darinya, lalu Tuhan mengangkat batu itu?
“Bisa gak filsuf itu mendaki ke puncak tapi dalam posisi turun?” Tanya balik Ustadz Dani padaku.
“Mustahil Ustadz.” Jawabku.
“Nah itu jawabannya, Za,” Katanya. “Bukan berarti tidak bisa, tapi pertanyaannya yang tidak layak dijawab.”
“Kenapa ustadz? Kalo boleh tau,” aku sedikit penasaran, kenapa gak layak dijawab.
“Itu namanya pertanyaan paradoks dan retoris. Intinya pertanyaan menjebak dari para filsuf.” Jawabnya. “Bagaimana bisa sifat manusia, disandingkan dengan Tuhan? Sangat gak mungkin.”
“Mmm, betul juga ya,” kataku, dengan sedikit senyuman.
Ustadz Pun meneruskan ceritanya. Dulu pun ada orang buta yang bertanya, pada ulama yang kelasnya sudah ilmu mantiq. Orang itu bertanya pada ulama, apakah Tuhan bisa menciptakan setengah siang dan setengah malam pada satu waktu?.
Maka ulama itupun menjawab, bisa. Lantas bagaimana caranya? tanyanya. Ulama itu menjawab, itu matamu sebelah buta sebelah tidak.
Si-penanya pun terdiam, tidak bisa berbicara lagi sepatah kata pun. Karna, ia juga merasakan hal yang sama, dengan yang ditanyakannya.
Jauh sebelum itu, malah ada lagi filsuf pada zaman Imam Hanafi. Dia menganggap bahwa bumi, matahari, bulan, dan planet lainnya itu ada, bukan karna ada yang menciptakan, tetapi hanya kebetulan terjadi sendiri.
Pada zaman itu, orang filsuf ini sangat terkenal dengan kecerdasannya. Ia bisa mengalahkan ratusan ulama dengan adu argumentasinya.
Setelah mengalahkan beberapa ulama tadi. ia mengatakan pada orang yang hadir kala itu, siapa lagi yang akan bisa mengalahkanku untuk berdebat tentang alam semesta ini, tidak ada kan!. Udah yakini bahwa semua alam semesta ini hanyalah kebutulan terjadi sendiri, bukan ada yang menciptakan.
Malah disetiap mimbar-mimbarnya, ia berseru pada setiap orang untuk meninggalkan Allah. Kata ia, tidak ada Tuhan! Tidak ada Tuhan! Alam semesta ini semua terjadi hanya kebetulan.
Lalu para ulama yang hadir tadi, datanglah pada sosok ulama yang sangat cerdas, bijak dan lugas. Dia adalah Imam Hanafi, seorang Ahli Ro’yi (Ahli Logika).
Para ulama yang datang padanya, meminta sang imam untuk melayani ahli filsuf tadi. Kata Imam Hanafi, Baik! Siapkan saja tempatnya, kumpulkan orangnya, dan tentukan waktunya.
Singkat cerita, begitu pada waktu yang ditentukan. Ribuan orang sudah kumpul, dan filsuf yang menantang sudah datang duluan pada pagi hari, dengan percaya diri filsuf itu akan bisa mengalahkan sosok Imam Hanafi.
Pada waktu yang ditentukan sang imam belum datang, imam hanafi datang terlambat. Begitu datang terlambat, kata filsuf itu, kita kasih tenggang waktu, tunggu satu jam lagi. Habis satu jam, Imam Hanafi belum datang juga.
Ditunggu sampai dua jam lagi, imam Hanafi tetap gak datang. Filsuf ini mulai sesumbar, lihat mana gak ada yang bisa lawan aku! Imam Hanafi yang katanya pintar, ulama besar, dia takut hadapi aku, karna dia gak punya bahan untuk berargumentasi denganku. Kata filsuf.
Begitu asyik dia lagi sesumbar, datanglah Imam Hanafi. Dan filsuf itu marah pada sang imam, Bagaimana ada ulama terlambat! Yang katanya pintar kok terlambat! Gak disiplin gak tertib, Kata filsuf itu.
Kata Imam Hanafi, iya saya minta maaf karna terlambat. Gak bisa! Musti kau sebutkan dulu kenapa datang terlambat? Tanya filsuf itu. Jadi begini saya kan punya rumah diseberang sungai, tadi waktu saya mau keluar rumah, mau jalan kesini, saya naik keledai. Ditengah jalan, gak ada angin, gak ada hujan itu keledai mati. Terpaksa saya jalan kaki.
Begitu jalan kaki, dipinggir sungai saya bingung? Bagaimana cara menyeberangi itu sungai. Sedangkan Perahu gak ada. Tidak lama begitu saya tunggu, kebetulan ada pohon terbelah dan bergerak sendiri, dan jadi perahu plus ada sampannya. Nah, begitu jadi perahu, saya nyebrang dengan perahu itu, dan akhirnya sampai kesini. Jawab sang imam.
Filsuf itu menjawab, hey! Imam Hanafi, kamu waras atau enggak? Tertawa filsuf itu dengan terbahak-bahak dan mengajak orang yang hadir untuk mentertawakan sang imam. Memang kenapa? Kamu percaya gak? Tanya Imam Hanafi.
Enggak, aku gak percaya, kau gila ya! Mana mungkin ada pohon terbelah bergerak sendiri, dan menjadi perahu. Percaya gak? Tanyanya pada orang yang hadir. Lalu dengan suara ramai orang yang hadir mengatakan, Tidak!
Sebentar, kalau kamu mengatakan aku gila karna ada perahu kecil yang terjadi dengan sendirinya. Kamu lebih gila lagi, kamu bilang bumi terjadi dengan sendirinya, matahari terjadi dengan sendirinya, bulan terjadi dengan sendirinya, malah semua planet terjadi dengan sendirinya, sampai diri kamu juga terjadi dengan sendirinya. Berarti disini siapa yang lebih gila lagi? Kamu atau aku? Kata Imam Hanafi.
Lalu setelah itu, Imam Hanafi turun dari mimbar, dan pulang kerumahnya. Selesai dari debatnya. Filsuf itu bengong, dan tidak bisa menjawab lagi pertanyaan sang imam. Dan orang yang hadir, mereka langsung mengsoraki filsuf itu. Dan akhirnya mereka yang hadir percaya, dan iman kepada penciptanya yaitu Allah Swt.
Intinya, Imam Hanafi ingin menelanjangi kebodohan filsuf itu dalam debatnya. Kalau kayu yang kecil saja mustahil, bisa terjadi dengan sendirinya menjadi perahu. Mana mungkin bumi dan seisinya, matahari, bulan serta planet lainnya terjadi dengan sendirinya, berarti filsuf ini lebih gila lagi.
Dan sang imam terlambat itu sengaja, dan ia udah tau bakal dikatain gila dll. Cerdasnya Imam Hanafi dia bisa membalikan pertanyaannya.
“Itulah kisah nyata perdebatan zaman itu, Za.” Kata Ustadz Dani.
“Waw, jenius sekali, Imam Hanafi itu,” Kataku pada ustadz.
“Pengen seperti itu, ustadz...,” Kata Mahara, dengan kagumnya pada Imam Hanafi, yang diceritakannya.
“Mesti rajin ngaji, dan belajarnya.” Jawab ustadz.
“Makanya jangan mentingin game,” Sindiranku pada Mahara.
“Kalo sekedar hiburan boleh mereun...,” Mahara.
“Boleh, asal jangan lupa waktu.” Jawab ust.
“Nah, itu tuh.” Aku, dengan sedikit tertawa.
“Ahli Filsuf akan kalah dengan Ahli Mantiq,” Kata ustadz. “Karna logika harus dilawan lagi dengan dalil akli, bukan dengan dalil nakli.”
“Ohh, iya.” Aku.
Sumpah! keren banget, dan puas aku atas jawaban dari beliau. Jawabannya sangat logis dan diterima oleh akalku. Dialah Ustadzku yang selalu rapi dan juga cerdas dalam menjawab semua pertanyaan yang aku berikan.
Ini versi serius Ust. Dani. Beliau pun tidak selalu serius kok, kadang ia suka bercanda denganku. Katanya, kalau terlalu serius bisi tunduh (takutnya ngantuk). Ia bisa mengkondisikan situasi, menurutku.
Aku bangga dengan guruku ini, karna sangat jenius dalam agamanya. Tidak sepertiku yang jauh dan tidak bisa apa-apa. Tapi kata beliau, cukup dengan terus belajar akan semakin bertambah pemahamanku tentang ilmu apapun.
🍃🍃
②
Selesailah aku mengaji dengannya, pada pukul 23.00 WIB. Dilanjut dengan ngopi, ngerokok, dan ngemil bareng bersamanya. Sambil aku ngemil, kami pun mengobrol penuh candaan bersama. Dan merokok bareng, kecuali Mahara.
“Rokok ini haram,” kata Ustadz Dani.
“Makanya aku bakar,” Jawabku, sambil menyalakan rokok.
“Si Eza mah apaleun ningan,” Ustadz Dani, dibarengi tawa. (Si Eza mah udah tau)
“Ha ha ha.” Aku.
“Coba hukum makan apa tuh?” tanya ust. Kepada semua yang ngaji.
“Wajib,” Mahara.
“Berarti kalo wajib, orang yang gak makan dosa dong?” ust, sedikit tertawa.
“Ha ha ha.” Tertawa kami semua, mendengar jawaban Mahara.
“Coba, Dimas, kira-kira apa tuh?” tanya ust, pada Dimas.
“Sunnah ustadz,” jawab Dimas.
“Kalau sunnah, berarti orang yang gak makan gak akan dapat pahala dong.” Ust, tertawa kembali bersama.
“Mubah ustadz,” jawabku langsung.
“Nah, ini baru bener.” Ustadz.
“Ohhh...,” Semua yang ngaji.
Sebenarnya aku sudah tau jawabannya, hanya membiarkan yang lain dulu aja menjawab pertanyaan dari ustadz. Bereslah mengobrol hari ini. Lalu Ustadz Dani dan santri yang dibawanya pun izin pamit untuk pulang, karna waktu semakin malam juga. Aku mengantarkannya kedepan halaman rumah.
“Duluan, Za, Asalamualaikum,” kata ust, yang sudah menaiki motornya.
“Iya ustadz, Walaikumsalam.” Jawabku.
🍃🍃
③
Shubuh pun tiba. Terdengar olehku suara adzan disetiap tempat. Membuat suasana kampungku terasa tenang. Begitu bahagianya aku hidup di tempat yang sederhana, dan penuh kenangan indah bersama keluarga.
Rutin, ibuku menyapu halaman rumah saat shubuh hari. Terkadang, ketika telingaku mendengar gesekan-gesekan sapu ke tanah, aku bangun. Tetapi aku malah tidur kembali.
Tapi tenang, aku punya alarm khusus kalau shubuh susah bangun. Ya, siapa lagi kalau bukan suara ibu yang bikin aku takut, kalau tak bangun saat itu juga. Ibu pun menuju ke kamar, yang waktu itu mungkin aku masih terlelap dalam tidur.
“Za, bangun dah shubuh,” kata ibuku, yang terdengar. “Ayo berangkat ke masjid nanti kesiangan.”
Suara ibuku, yang terdengar diluar kamar, sambil mengetuk pintu. Karna mendengar suara ibu yang begitu sangat lembut, aku pun bangun dari tidur.
Taulah sikap ibuku, kalo sampai tiga kali di panggil gak nyaut, suaranya akan berubah seolah memakai pengeras suara. Itulah yang bikin aku takut. Maka dari itu aku menjawab panggilan ibu, yang terdengar di balik pintu itu.
“Iya siappp bu, sekarang Reza bangun.” Kataku. Dalam keadaan masih ngantuk dan menguap, aku menjawab panggilan ibu.
Lalu aku mengambil sebuah handuk, dan bergegas pergi ke kamar mandi. Kalau kamu tau rasanya mandi shubuh-shubuh dirumahku, bakal jadi Tarman (Tara mandi). Asli! tubuhku rasanya berada di Antartika.
Pasti taulah, bagaimana ketika satu gayung air yang dekat dengan pegunungan terkena pada kulitmu. Bagi orang yang sama tempatnya seperti tempatku. Ia akan percaya rasanya berada di daerah Antartika. Aku yakin dengan itu. Berbeda dengan perkotaan, yang mungkin airnya walaupun shubuh, pasti agak hangat.
Setelah selesai dari mandi, aku kembali ke kamar tidur, untuk memakai pakaian yang ada di lemariku. Dan bersiap untuk mengisi hari yang penuh kekosongan. Dengan membaca dan menonton berita pagi di ruang tamu. Sambil menikmati sarapan pagi, gorengan dan air hangat yang sudah disediakan ibu di meja.
🍃🍃
④