Bahagialah Cigugurku

A. Sholeh
Chapter #6

Menghadapi Rintangan


Aku berusaha tetap tegar, menghadapi semua tantangan rintangan ini. Saat ini aku hanya bisa terkapar dikasur, ya aku sakit, tiba-tiba saja tubuhku panas dan dingin. Hanya ada ibu, yang menemaniku ketika sakit, rela menunggu berhari-berhari, untuk mengurusiku yang sedang sakit. 

Keluargaku di didik oleh ayah, dengan beberapa step by step cara mengobati ketika terserang penyakit. Aku tidak memilih untuk berangkat pergi ke dokter. 

Karna ada amanah dan nasehat dari ayahku, yang waktu itu terucap yakni, “Ada empat perkara tentang obat, ketika kita sedang di uji dengan penyakit. Pertama, Istigfarlah kepada sang pencipta Allah, Kedua, carilah obat alami karna kita tercipta dari tanah, maka carilah tanaman-tanaman yang mengandung untuk penyembuh tertentu. Ketiga, lalu silahkan pergi ke dokter ketika dengan dua tadi belum ada perubahan. Keempat, bersabarlah karna sakit adalah penghapus dosa bagi kita.” 

Inilah amanah dan nasehat yang di berikan ayah kepadaku, dan keluarga. Aku melakukan apa yang dinasehatkan oleh ayah, sehingga lebih memilih ikhtiar dari perkataan ayahku yang pertama, sebelum berangkat ke dokter. 

Ibulah yang mengurusku, dengan penuh ke khawatiran, dan kasih sayang yang begitu dalam. Ketika ibu melihat aku sedang sakit, meneteslah air matanya, ya 

memang, seorang ibulah yang begitu tulus menyayangi kita hingga nyawa ditaruhkan untuk anak-anaknya. Tidak peduli mau dia salah atau benar, tapi yang selalu kurasakan, dia tetap membela dan menyayangiku.

“Rez, cepat sembuhlah.” ibuku yang meneteskan air matanya, karna khawatir padaku.

Aku hanya bisa diam, menahan rasa sakit yang kuderita, sesekali menggigillah seluruh badanku. Ketika melihat tetesan air mata ibuku, hati ini ikut menangis. Saat ini aku hanya bisa tersenyum saja untuk ibuku, yang begitu terlihat tulus rasa khawatirnya.  

“Siapa lagi yang akan berjuang untuk ibu dan adikmu, kalo bukan dirimu Rez, cepat sembuh ya. Kamulah pejuang untuk ibu Rez.” Ucap ibu yang tersedu-sedu menangis.

Kupaksakan berucap pada ibu, yang sedang menangisiku. Aku tak mau melihatnya menangis, karna bagiku satu tetesan air matanya, ibarat tetesan telaga Al-Kautsar. Telaga yang sangat indah dan hanya orang pilihanlah yang akan bisa mendapatkannya.

“Allah tau yang terbaik untuk kita bu.” Ujarku, yang menggigil, karna begitu dinginnya yang terasa.

Setelah kuberucap seperti itu, ibu langsung pergi entah kemana, yang kudengar sepertinya pergi keluar. Karna terdengar membuka suara pintu depan. 

Terdengar kembali suara orang membuka pintu, sepertinya menuju ke dapur. Mungkin itu ibu, aku tak memikirkan itu, karna aku sedang merasakan panas dingin yang semakin menjadi. Tidak lama, ibuku masuk kembali kekamarku dan membawa setengah gelas air, dan airnya itu berwarna hitam. Kumengira itu kopi, ya aneh juga kalo bener itu kopi. Karna sama persis warnanya seperti kopi.  

“Rez diminum dulu nih, ada air kunyit hitam yang sudah di rebus, ayo diminum dulu Rez. Semoga ini menjadi wasilah obat untukmu.” Ucap ibu. 

Kukira kopi, ternyata air kunyit, ibu sambil mengasih air tersebut padaku, dan meminumkannya. Aku pun meminum air obat tersebut. Soalnya aku baru tau juga ada kunyit tapi warnanya hitam. 

“Makasih bu.” 

“Iya Rez, sama-sama istirahatkanlah.”

“Iya bu.” Jawabku.

🍃🍃

Tiga hari kemudian, Alhamdulillah aku sembuh dari sakit. Seperti biasa, aku ketika sembuh tidak berhenti untuk terus membaca buku dan menulis. Kira-kira itu hobiku, karna dari situlah kubisa berpikir, dan merasakan betapa berharganya kehidupan, bila digunakan dan dimanfaatkan untuk mencapai pada tujuan yang sudah terencana.

🍃🍃

Tidak berhenti disitu setelah diriku sembuh, ibu harus berangkat ke kampung kelahirannya yaitu di kampung Cihanjuang, masih satu kecamatan dengan Cigugur. Karna nenekku meninggal dunia. 

Teringat nenek yang begitu luar biasa sayangnya padaku, dan cucu-cucunya. Kutak mampu membendung air mataku, ketika menerima kabar dari kampung kalo nenek sudah tiada. 

Ibuku, berangkat kesana terlebih dahulu dengan menaiki angkot. Sungguh sekali lagi, inilah sebuah kesedihan bagi kehidupanku. ibu menyuruhku untuk berangkat besok saja bersama adik. Karna kata ibuku, aku baru sembuh dari sakit. 

Aku dan Mahara pun menyusul pergi ke kampung ibu pada pagi hari, untuk bertakziyah kesana. Kita berdua, sesampai di Cihanjuang, langsung berangkat pergi ziarah ke makam nenek. 

Terus menetes air mataku yang begitu tak terasa menetes ke pipi. Aku dan adik pun mengirimkan doa pada nenek. Setelah selesai berdoa kita kembali ke rumah nenek untuk bertemu ibu. 

Kulihat, Ibu saat itu sedang menangis di rumah nenek. Aku hanya bisa berbicara sedikit saja pada ibuku. Kenapa? Ya, karna aku pun sangat merasakannya, seperti jantung ini jatuh dari tempatnya, ketika ditinggal oleh ayahku.

“Bu, udah jangan ditangisi kita bareng-bareng berdoa saja untuk nenek.” Aku yang menahan tangis didepan ibu.

Lihat selengkapnya