Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #1

Kampung Bambu

Lapangan berukuran kurang dari 18 x 16 itu seakan menjadi panggung pertarungan yang seru. Ketika kedua kubu saling menatap satu sama lain, seakan mereka melihat musuh yang siap menikam kapan pun. Status pertemanan pun di pending untuk sementara waktu, ketika kulit bundar telah berada di tengah lapangan yang tidak terlalu rata, yang siap digulirkan oleh sang pengadil semesta.

Rintikan hujan mulai menari-nari di angkasa, begitu pula dengan angin-angin yang menerbangkan dedaunan semu bersama semangat yang menggebu. Rumput-rumput yang menghuni lapangan itu berteriak sangat senang ketika rahmat tuhannya telah diturunkan hingga menggenangi di antara mereka. Tidak ada sepatu mahal, hanya sebatas kaki-kaki bocah yang penuh dengan lumpur.

Semesta pun meniup pluit kehidupan lewat hujan yang semakin deras, di ikuti dengan pekikan para pemain bola yang seukuran sepertiga tiang bendera. Mereka mulai berlarian, merebut bola satu sama lainnya. Tidak ada peraturan, hanya kesenangan yang terbawa. Karena mereka sadar, bahwa itu hanya sebatas permainan belaka.

Baju-baju bola mereka mulai basah kuyup tertimpa air hujan, tulisan-tulisan pemain top di punggung dari beberapa negara pun menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi mereka. Maklum saat itu lagi demam Piala Dunia 2002 Korea-Japan, yang dapat disaksikan lewat kotak kecil bernama TV sehabis sekolah bersama-sama. Tak perlu begadang seperti sebelum-sebelumnya, karena waktu yang hampir sama antara kampung mereka dengan tempat penyelenggara.

Seorang anak yang memakai kaos kuning biru, khas Brazil dengan tulisan Ronaldo di punggung pun berlari sangat kencang melawan hujan. Teman-temannya seakan menjadi patung yang dilewati dengan mudahnya, kaki-kaki kecilnya seakan berhasil menyembunyikan bola di balik derasnya hujan.

Hingga salah seorang temannya dengan sengaja menjegal kakinya hingga terlempar 3 meter jauhnya menatap butiran hujan dan menghantam genangan air hujan di atas rumput lapangan. Tak ada emosi, teman-temannya hanya tertawa melihatnya. Sementara ia dengan kaos yang penuh lumpur hanya tersenyum sembari memukul air yang tergenang, kembali berlari mengejar bola.

Aku hanya bisa menatap dalam diam di ujung lapangan. Tidak ada tanda-tanda teman yang datang dari kejauhan. Di dalam bosan, tubuhku basah kuyup walau sudah bertudung rimbunan bambu. Memang menjadi sebuah peraturan diantara kami, ketika ingin bermain harus memiliki lawan tanding.

Hujan semakin deras saja, teman sebayaku pun semakin berteriak kegirangan sementara aku masih harus menunggu untuk beberapa waktu. Bola mataku memperhatikan guliran bola dengan malas. Aku hanya tersenyum datar ketika ada salah seorang teman yang mencium rumput basah lapangan berkali-kali, sementara temanku yang lain sudah tertawa terpingkal-pingkal.

Siluet hitam berbungkus air hujan muncul di balik rimbunnya bambu di seberang lapangan. Aku mencoba memicingkan mata ke arahnya, ia melambai penuh arti. Aku pun menjawab lambaiannya dan berlari masuk ke lapangan. Telapak kakiku pun riang tak terkira ketika menyentuh genangan air, berlari cepat menuju tiang seberang. Karena tim ku tengah mendapatkan sepak pojok.

Hidayat, salah seorang temanku dengan balutan kaos Brazil yang telah berlumuran lumpur menyisir ke ujung lapangan dengan mengapit bola di pinggang. Tim lawan pun berteriak-teriak di tengah derasnya hujan sementara aku masih sampai di setengah lapangan. Dengan susah payah menyingkirkan rebung-rebung yang berjatuhan, ia mulai menata bola sebelum di tendang.

Dengan sedikit berlagak pemain professional, ia mulai memberikan aba-aba kepada rekannya dengan menjentikkan jari ke udara. Bola itu terbang di udara melawan derasnya hujan ketika kaki mungilnya menyentuh permukaan bola membentuk sudut empat puluh lima derajat terhadap arah utara. Terjadi kegaduhan antara timku dengan tim lawan di tengah derasnya hujan.

Lihat selengkapnya