Satu hal yang paling aku benci saat berakhirnya tahun ajaran semasa Madrasah Ibtidaiyah atau SD sederajat adalah pentas seni. Entah mengapa, mendengar kata-katanya pun aku sudah agak muak. Bisa jadi aku bukanlah tipikal orang yang suka menampilkan sesuatu di depan, seperti teman-temanku yang selalu berebut peran ketika momen itu datang.
Ketika momen akhir tahun ajaran itu kembali datang, aku lebih memilih untuk duduk di pojok ruangan sembari berpura-pura agar tidak ada yang melihat. Memang itu hanya sebatas tindakan konyol masa kecilku. Namun mau bagaimana lagi, terakhir kali aku ikut pentas seni hanya memberikan momen yang tidak mengenakkan bagi diri.
Bayangkan saja, aku harus berperan sebagai seorang pak tua yang memberikan wejangan kepada muridnya. Dengan mengenakan aksesoris berupa jubah putih lengan panjang, dan tak lupa—yang paling aku benci—jenggot putih palsu yang dirangkai dari sekumpulan kapas putih menempel di dahiku. Betapa mengerikannya aku, sampai kakakku pun tidak mau memotretku.
Saat itu memang aku bermain peran layaknya seorang aktor drama. Dan semenjak kejadian itu—yang menurutku cukup memalukan—aku berusaha sejauh mungkin untuk menghindari dari yang namanya drama. Sebenarnya drama merupakan salah satu perwujudan estetika pikiran maupun raga yang berbalutkan seni. Namun satu hal yang paling aku tidak suka, kostum.
Memang kostum hanyalah salah satu properti pendukung suatu karya seni—dalam hal ini adalah drama—yang bisa dibilang sebagai sebuah bumbu penyedap. Namun sayang, kebanyakan kostum yang aku jumpai saat itu sangatlah konyol dan terkesan berlebihan. Bayangkan saja, apa hubungannya seorang pemeran cermin pada cerita Cinderella dengan pakaian polkadot mirip badut.
Dan hingga sekarang pun, aku masih alergi dengan namanya kostum. Karena kebanyakan politikus Senayan walau berdandan rapi layaknya pejabat tinggi, mereka menganggapnya hanya sebatas kostum. Sehingga tak jarang kita menemui istilah yang cukup populer di negara berkembang—utamanya Indonesia—kelompok tikus berdasi.
Mulai saat itu aku setuju dengan perkataan orang, don’t judge the book from it’s cover. Namun, itu hanya sebatas klausa tak bermakna yang tidak akan pernah bisa terlaksana di mata manusia. Karena sekali lagi, sebuah kostum mampu mengalahkan sifat asli dari manusia itu sendiri. Itulah manusia, dengan segala keanehannya.
***
Tiba – tiba saja tangan itu menepuk pundakku. Aku langsung tersentak kaget sementara pemilik anggota tubuh tersebut hanya tertawa girang. Bola mataku memandang Hidayat dengan datar.
“Kamu dipanggil Pak Ahmad,” ujarnya setelah menangkap isyarat penuh tanda tanya yang kulontarkan kepadanya.
Tanpa banyak bicara, aku pun bergegas menyusuri koridor ruang kelas untuk menuju ke kantor guru. Tak ada yang spesial bagiku di hari itu, hanya sekumpulan pikiran yang mengganggu. Saat itu adalah masa terakhirku di sekolahan itu. Menjadi kelas tertua sudah aku jalani selama setahun. Tinggal menunggu waktu mau kemana aku.
Sehingga tak heran jika otakku terpecah menjadi 2 bagian, memikirkan masalah pergantian sekolah dan tentunya persembahan akhir. Untuk tahun-tahun sebelumnya, dan barangkali sudah menjadi tradisi dengan selalu menghadirkan drama kelas akhir di pentas seni.
“Ah, drama,” desahku dalam hati ketika dalam perjalanan ke kantor guru. Pastilah pemanggilan ini akan ada kaitannya dengan persembahan akhir yang bertajuk pentas seni, dan tak terlupa, drama.
Ruangan dengan pintu biru itu tak ubahnya sebagai tempat peristirahatan sejenak dari para guru. Memang, tidak sekeren sekolah-sekolah lain. Namun kami patut sadar bahwa kantor itu terletak di sebuah kampung kecil. Walaupun demikian, aku patut berbangga. Karena jerih payahku beberapa tahun ke belakang telah terpajang di etalase piala, memberi kenangan terindah bagi sekolahan itu.