Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #3

Map Hijau

Kupandangi brosur itu lekat-lekat. Tak ada yang aneh memang, namun bola mataku masih terus-terusan berhadapan dengannya. Berwarna dasar hijau, tak ayal bila kertas tersebut mampu bersinar dalam gelap. Tapi, lupakan yang satu itu. Karena kunang-kunang pun benci ketika harus bersaing dengannya, bersinar di malam gelap.

Tubuhku mencoba menyesuaikan dengan meja serta kursi yang terlihat terlalu berdekatan. Hening aku membacanya. Dan mungkin, brosur pendaftaran santri baru yang kudapatkan dari Alan menjadi buku bacaan terbaruku. Setidaknya mampu mengalahkan buku cerita si kancil yang berlembar-lembar.

Perasaan bimbang menggerogoti tubuhku, apalagi ketika bola mata ini memandang harga di brosur itu. Barisan nol itu pun membuatku ngeri sekaligus pusing. Satu hal yang harus kupastikan terlebih dahulu, mampukah orang tuaku membayar itu semua. Otakku pasrah, kusambar naskah drama yang tergeletak di ujung meja dan pergi.

Di luar, aku tak sengaja bertemu dengan Hidayat. Seperti biasa, ia membawa parang serta karung goni untuk mencari rerumputan.

“Mau kemana ?”

Ia berkata pendek. “Cari angin.”

Aku menimpalinya dengan senyum kecut. Setelah melewati percakapan yang cukup membingungkan, otakku memutuskan untuk ikut dengannya. Mencari pakan ternak.

Sepanjang perjalanan, kami mengobrol tentang perkembangan persiapan drama kami. Sebenarnya aku benci juga membahas hal itu. Mau bagaimana lagi, ia sudah memulainya. Sesekali aku hanya tersenyum datar ke arahnya, ketika ia bercerita banyak tentang perannya di naskah drama itu. Sementara aku, jangan dibayangkan.

“Besok kita gladi kotor pertama, bagaimana persiapannya ?"

Aku melamun, pura-pura tidak dengar apa yang ia katakan. Hingga kaki itu menampar punggungku yang tengah bersandar di tiang kandang ternak nya. Sementara ia tengah sibuk memberi makan sapi – sapi yang terlihat kurang sehat.

Aku masih diam memandangi ilalang yang bergoyang di terpa angin.

“Malah ngelamun”. Ia mengambil air minum yang tersimpan di sela-sela tiang kandang. Sebelum meminumnya, ia menawarkan kepadaku hanya saja aku lebih memilih menggeleng dari pada menerima tawarannya.

“Pasti kamu memikirkan itu kan ?”

Ia menunjuk ke sebuah pondok yang tak jauh dari tempatku duduk. Pondok yang seakan telah menjadi ikon desa itu tertutup oleh rumput gajah yang tinggi – tinggi. Hanya menara masjidnya yang merobek angkasa dan mampu di lihat dari kejauhan. Tentunya pemandangan itu hanya terlihat dari kandang sapi milik Hidayat.

Aku mengangguk pelan mengiyakan apa yang ditebak oleh Hidayat. “Kalau aku memilih tidak mondok”.

Sengaja ia memancing perkataan untuk membunuh keheningan di otakku. Aku memandangnya sembari bertanya dalam diam. Banyak orang yang jauh-jauh ingin mondok ke situ, tapi mengapa kaum pribumi malah memilih tidak mondok.

Lihat selengkapnya