Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #4

Bahasa Langit

Bahasa merupakan suatu hal yang bersifat universal. Dan aku sangat setuju dengan pernyataan itu. Siapa yang membantahnya berarti harus berhadapan denganku, bermusuhan denganku, dan menjadi lawanku. Tapi, aku tidak jadi memakai ancaman itu setelah Hidayat mengoceh panjang lebar tentang sebuah bahasa.

Ia menyebutnya bahasa isyarat. Agak aneh memang. Bukan sembarang bahasa, menurutku. Hidayat sangat terobsesi dengan bahasa ini semenjak ia memperagakannya di kelas satu dulu. Sebelum mulutnya belum pandai berbicara seperti sekarang, ia lebih memilih memeragakan dengan kedua tangannya.

Contoh kecil, bila ia ingin ke kantin maka ia akan meregangkan kedua tangannya sembari menunjuk-nunjuk ke tempat itu. Awalnya seluruh kelas tertawa, namun Ibu guru telah mengajarkan untuk toleransi dan saling menghargai. Itulah pelajaran awal yang aku dapat ketika awal masuk kelas.

Suatu ketika, aku sengaja membawanya ke perpustakaan. Bukan untuk mengajarinya membaca, aku pun masih terbata-bata apalagi Hidayat. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Aku menyodorkan sebuah buku penuh gambar kepadanya sembari menunjuk ke sebuah gambar.

Tanpa di duga, kakak kelasku tergelak. Hidayat masih belum mengerti. Akhirnya aku menjelaskannya. Bahasa isyarat ternyata juga dipakai oleh manusia purba. Aku menahan tawa sementara Alan yang kebetulan lewat pun tergelak layaknya kakak kelasku. Namun, momen itu kurang asik karena Hidayat memasang wajah tidak peduli.

Lain halnya dengan sekarang, ia sudah pandai berbicara apalagi berorasi. Ia sering menjual omongan—utamanya di depan teman perempuan—tentang sesuatu yang ia miliki. Mulai dari perlengkapan rumah, ternak, hingga video game. Dan aku sendiri pun tahu bahwa itu hanyalah fiktif belaka. Tapi anehnya, kebanyakan temanku memilih percaya. Entah karena benar-benar termakan omongan, pura-pura kasihan atau pun tidak peduli.

Kemarin ia bilang kepadaku, ia tengah melakukan pengembangan bahasa isyarat. Katakanlah sebagai ilmuan muda. Ketika aku di gubuk ternaknya, ia berbicara banyak hal mengenai bahasa isyarat dan esensi yang terkandung di dalamnya.

“Jika kau bilang bahasa adalah suatu hal yang universal, aku tidak setuju.”

“Bahasa adalah seni, Bung,” ucapnya. Aku menatapnya dengan heran.

“Sama halnya dengan bahasa isyarat, penuh dengan seni gerakan tangan serta keahlian peragaan.”

Kali ini aku mulai setuju dengan pendapatnya. “Kamu tahu butuh berapa tahun manusia purba belajar seni ini?” Ia mulai melakukan peragaan bahasa isyarat.

“Hampir 900 tahun, sementara banyak yang meremehkan fakta itu.”

Aku berpikir dalam diam, dari mana ia mendapatkan angka itu. Apakah ia mengarang atau memang begitu kenyataannya.

“Aku membacanya di perpustakaan,” tambahnya. Aku bernapas lega.

Memang bahasa isyarat adalah bahasa nenek moyang. Namun terlalu banyak hal yang belum kita pelajari dari nenek-nenek moyang kita. Dan aku tidak menyebutnya manusia purba, entah itu siapa. Salah satu contohnya adalah metode pembukaan lahan. Para pendahulu kita sering membuka lahan dengan cara slash and burn.

Tebang dan bakar, bukan langsung dibakar seperti sekarang. Sebuah kesalahan memang. Dengan metode seperti itu, diharapkan asap yang ditimbulkan tidak sepekat jika kita langsung membakarnya. Karena masih beberapa meter saja dari permukaan tanah. Sangat menguntungkan, dan ku akui bahwa itu adalah cerdik.

Dan jika kita berpikir sejenak, khazanah bahasa serta tata krama dari pendahulu kita pun patut untuk ditiru—sebagian—seperti halnya menghargai alam. Setelah mereka membuka lahan, beberapa hari kemudian bibit serta benih-benih baru pun muncul. Mungkin sebagai wujud terima kasih kepada alam. Sikap yang demikian, sudah hilang di zaman ini.

Lihat selengkapnya