Pada siang hari, memang bambu menjadi tempat berteduh yang sangat nyaman apalagi bagi para pejalan kaki. Namun, jangan harap situasi yang sama akan berulang ketika malam menjelang. Ketika malam, rimbunnya bambu seakan menjadi kotak misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan oleh siapapun.
Saat itu, aku tengah berjalan berdua bersama ibuku. Aku gugup, sedikit. Namun kegugupanku kian bertambah ketika harus melewati sekawanan pohon bambu apalagi tidak ada secercah pelita pun yang menerangi. Tidak ada cahaya, kecuali gemintang yang jauh di langit sana.
Tiba-tiba suara decitan menggema di sekitar pohon bambu. Nyali anak kecilku pun ikut ciut. Aku menggenggam erat-erat tangan ibuku. Aku tidak bisa melihat senyum hangatnya di tengah kegelapan. Tapi yang pasti, aku percaya bahwa Ibu akan menjagaku dari hal-hal yang mengganggu.
Semakin aku mendekati bambu-bambu yang gelap itu, semakin gemetar pula jari-jemariku. Mereka seakan berbicara kepadaku. Aku sadar akan hal itu. Karena keanehan itu pastilah terjadi pada anak-anak kecil yang masih suci.
Ketika beranjak dewasa, aku mulai sadar bahwa itu adalah fakta yang mendekati kebenaran. Aku tahu itu dari cerita Hidayat ketika adiknya bisa berbicara kepada seseorang di kandangnya. Adiknya yang lugu tiba-tiba saja tertawa sekaligus berlari-larian di ladang dekat kandangnya.
Awalnya nyali Hidayat pun ciut, padahal saat itu mentari masih di ujung langit. Ia menggandeng tangan ayahnya sembari memperlihatkan apa yang terjadi kepada adiknya. Ayahnya hanya tersenyum, sembari mendekati situasi yang aneh tersebut. Hidayat tidak bisa melanjutkan ceritanya, karena ia disuruh pergi dari situ tepat setelah ayahnya mendekati adiknya.
Namun situasi yang menyelimutiku kali ini jauh berbeda. Tidak ada Ayah dengan kekuatannya, hanya ada Ibu yang mengandalkan kasih sayangnya. Tidak ada gubuk untuk berteduh apalagi mentari yang kini telah beristirahat di balik cakrawala. Hanya keheningan dan juga momen yang mencekam
Aku pun berharap agar hantu-hantu itu takut kepada kasih ibuku yang tak terhingga sepanjang masa. Agak aneh, tapi aku benar-benar berharap. Berharap agar ada seseorang atau entah apalah namanya menyelamatkanku dan juga ibuku. Dan juga memendam rasa takutku.
Aku kembali bertanya di dalam hatiku, mengapa aku mau ikut dengan ibuku. Mengantar pesanan kue ke kampung sebelah, di tengah gelapnya malam tanpa sedikit pun pelita. Ibu hanya bilang bahwa loyalitas akan menentukan seberapa puas pelanggan dan menjaganya agar tetap selamanya menjadi milik Ibu.
Namun, hal yang tidak kuduga akhirnya datang juga. Bola mataku yang dalam keadaan gelap gulita menangkap cahaya dari ujung jalan. Sebenarnya kami tengah berjalan di sebuah jalan setapak dengan bahan penyusun utamanya adalah bebatuan. Sedikit sakit bila terkena tumit apalagi di malam yang hening.
Dari sana aku mendengar sayup-sayup lantunan ayat suci Al-Quran yang menyejukkan jiwa, pengusir rasa takut. Mungkin, suara-suara itu kini telah membesarkan jiwaku yang telah mengkerut akibat gelapnya rimbunan bambu.