Baru kali ini aku berada pada posisi yang tidak mengenakkan. Dan hal itu diakibatkan oleh perkataanku kepada ayahku. “Pak, aku mau belajar bahasa langit.”
Hening sejenak. Ia menghentikan kesibukan tangannya yang berusaha menyembuhkan barang – barang rongsokan.
Ia kemudian memandangku dingin sembari membetulkan letak kaca mata lensa gandanya.
“Bapakmu ini sudah tua”, ucapnya sembari menghembuskan napas.
Aku pun tidak mengerti dengan apa yang tengah ia ucapkan. “Kamu tahu sendiri kan berapa biaya yang harus bapakmu ini keluarkan untuk bisa memasukkanmu ke pondok bahasa langit itu?”
Aku menelan ludah dengan berusaha menggeser tempat dudukku lebih jauh dari posisinya. Karena terakhir kali aku berbicara masalah harga dengannya ia selalu menang. Sementara aku berakhir dengan kecanggungan.
“Butuh 30 televisi atau 50 radio untuk bisa menjadikanmu seorang santri.” Serangan argumen kedua dari Bapak.
***
Bapak adalah seorang ahli elektro yang sudah kadaluarsa. Tanpa mengambil ilmu elektro pun ia sudah pandai menjadikan barang rongsokan menjadi berfungsi kembali. Menurutnya, terakhir yang ia pelajari adalah bab hitungan matematika kelas 6 SD setidaknya 40 tahun yang lalu. Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan keahlian elektro.
Senjata yang selalu ia gunakan adalah solder beserta teman setianya timah. Ia sering menasehatiku bahwa biarlah bapakmu berpegang pada solder dan timah untuk menolong orang, memperbaiki barang-barang orang. Sementara aku harus menebar kebaikan lewat pena dan juga tinta yang diwujudkan lewat sebuah tulisan.
Kini, pesan yang penuh dengan kebijaksanaan itu pun aku pertanyakan. Aku paham dengan situasi ekonomi yang ada di keluargaku. Aku juga sepenuhnya hafal dengan sikap keluargaku utamanya ayahku mengenai jalan yang akan kutempuh selepas MI. Tapi apakah ayahku tidak ingin merubah keteguhannya untuk kali ini saja?
Jawabannya pun tidak. Terlalu banyak alasan yang ia utarakan, yang mana menjadi batu-batu sandungan untuk belajar bahasa langit. Aneh memang, menjadi sebuah ironi bila sepupu dan sanak saudaraku dianjurkan oleh orang tuaku untuk menuntut ilmu di pondok bahasa langit. Sementara anaknya sendiri justru tidak diizinkan. Alasan yang paling logis dan sangat aku benci adalah rumahku terlalu dekat dengan pondok.
***
“Memang apa salahnya? Temanku Perdana dekat dengan pondok juga bisa mondok?” Inilah argumen pertamaku yang telah kupersiapkan sangat lama.
“Biarlah dia kan anak orang kaya,” Bapak menimpali santai sembari kembali memperbaiki jam tangan yang ada di depannya.
“Tapi, bahasa langit adalah bahasa para malaikat dan juga bahasa Al-Quran,” debatku tidak mau kalah.
Ia masih fokus dengan apa yang ada di meja kerjanya, tanpa sedikit pun mendengarkanku. Lambat laun aku pun jengkel karena ini adalah kesekian kalinya aku memohon kepadanya. Semoga Allah memaafkanku yang telah marah kepada ayahku. Bagaimana lagi, dua hari lagi pendaftaran sudah di buka sementara aku belum mendapatkan kepastian itu.
Mungkin karena ragaku telah disusupi oleh setan, aku pun berani mengganggunya untuk menyenggol tangannya. Sekali lagi untuk mendapatkan kepastian itu. Akibat perbuatanku, mur kecil yang akan dipasang pun melompat entah kemana. Akhirnya aku pun berakhir dengan tubuh merah padam beserta makian.