Aku tengah sibuk. Bukan untuk mempersiapkan keberangkatanku ke pondok bahasa langit seperti santri baru lainnya. Serupa tapi tak sama, begitulah menurutku. Saat itu pun aku masih tidak bisa menyembunyikan kekecewaan akibat keputusan orang tuaku. Bagaimana bisa tiket belajar bahasa langit terenggut secara cuma-cuma.
Entah sudah berapakali aku mencoba mengikhlaskan hal tersebut. Namun, seperti yang engkau tahu bahwa bila manusia telah memiliki keinginan yang sangat kuat namun patah di tengah jalan, maka butuh waktu yang lama untuk pulih dari kekecewaan dan ikhlas menerima keadaan.
Melihat kesedihanku yang berlarut-larut, akhirnya Hidayat memiliki ide cemerlang. Ia mengajakku pergi berbelanja. Tempat yang kami tuju bukanlah pasar tempat ibu-ibu rumah tangga bergumul sembari memilih sayur. Bukan juga mall seperti halnya remaja melakukan praktik hedoneisme.
Untuk pilihan yang kedua, saya pribadi tidak terlalu yakin. Karena tidak akan ada mall berdiri di kampung bambu. Aku pun tidak sempat membayangkan bagaimana jadinya bila di tengah rimbunnya bambu muncul pusat perbelanjaan. Dan yang paling malang mungkin adalah petugas kebersihan. Berapa kali ia harus menyapu membersihkan daun bambu yang berjatuhan.
Singkat cerita, Hidayat mengajakku ke toko peralatan tulis. Maklum, kegiatan yang selalu dijalankan Hidayat semenjak ia MI adalah selalu berbelanja buku baru lengkap dengan peralatan tulisnya. Padahal, yang kutahu ia hanya memenuhi lembar demi lembar bukunya dengan sebuah sketsa yang tak jelas objeknya.
Sempat ia menjadi bahan ocehan satu kelas utamanya adalah Alan. Setelah Hidayat mempromosikan gambar sebuah logo klub bola Inggris yang kebetulan digemari oleh Alan. Menurut pandanganku, lambang Manchester United hasil karyanya lebih mirip acar bertumpuk dengan badut di tengahnya. Namun bagi Hidayat, itu adalah sebuah seni. Entah siapa diantara kita yang rabun.
Selama di toko peralatan tulis, aku hanya melihat-lihat tanpa tertarik dengan buku-buku kosong di rak. Karena semenjak aku MI, telah terpatri di otakku untuk menggunakan kembali buku yang masih tersisa dari tahun ajaran yang lalu. Menumpuk dan merangkai buku-buku bekas menjadi keahlian tersendiri bagiku.
Bila Hidayat bersedia memberiku tumpukan buku tahun ajaran yang telah lalu miliknya, maka aku tidak perlu membuang-buang waktu merangkai buku using milikku. Karena yang pasti, buku-buku milik Hidayat yang ia anggap lembaran seni hanya terpakai setengahnya itu pun lebih banyak sketsa ngawur dari pada tulisan pelajaran.
Setelah melalui proses pemilihan yang cukup lama, akhirnya Hidayat memilih dan membayar buku-buku baru dengan sampul pemain bola asal Portugal idolanya. Mungkin ia adalah salah satu penggemar yang paling akut. Sampai - sampai ia dimarahi oleh guru olahraga akibat menggambar nomor punggung 7 di kaos olahraganya yang sama dengan Cristiano Ronaldo.
Di tengah perjalanan pulang, kami bertemu dengan Widodo dengan menenteng layang-layang jagoannya.
“Nanti sore ada duel layang-layang di kampung sebelah.” Begitu kata Widodo.
“Pakai senar apa kamu ?” Tanya Hidayat penasaran.
“Gelasan kobra”. Jawaban singkat namun membuat kami bengong seribu bahasa.