Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #9

The Chosen One

Papan tulis itu kupandangi bosan. Sudah lama sekali menurutku pelajaran ini. Aku terpekur di tengah-tengah pelajaran unggulan para santri, bahasa langit. Entah karena kekecewaanku yang masih membekas di hati, atau ada sebab lain. Jangan kira guru pengajar yang membuat bosan, karena teman satu kelasku pun tertawa setiap kali di ajarnya.

Memang bukan tanpa alasan, terlebih bila guru bahasa langit kami adalah wali kelas sendiri. Sehingga guru kami pun berbuat yang terbaik buat kelasnya dan memang saat itu aku berada di kelas unggulan jadi daya saingnya cukup tinggi. Jika di pelajaran lain aku bisa menandingi mereka, berbeda halnya dengan bahasa langit.

Padahal porsi jam belajar bahasa langit di kelas unggulan tergolong sangat tinggi dibandingkan kelas reguler lainnya. Bayangkan saja, bola mataku harus bertemu dengan huruf-huruf arab di papan 6 kali dalam seminggu di tambah satu hari 4 jam mata pelajaran bahasa langit. Bagiku itu adalah sebuah kesempatan untuk belajar, namun entah mengapa ada sesuatu yang masih mengganjal.

Lain halnya dengan Hidayat, jika ia menjadi aku maka ia akan langsung pindah kelas. Begitulah katanya kira-kira ketika aku bertemu dengannya di kantin sekolah saat rehat. Pindah kelas adalah sebuah ide tersinting yang pernah aku dengar. Banyak yang mengidam-idamkan masuk ke kelas unggulan, eh malah ada yang ingin pindah dari kelas unggulan.

Kelas milik Hidayat sendiri berada paling jauh jangkauannya dari kelasku, ia satu kelas dengan Rozzaq. Sementara Afiq dan Alan adalah tetangga kelas. Walaupun demikian ketika rehat pun tidak ada yang saling kunjung mengunjung. Satu hal yang menjadi masalah adalah perempuan.

Berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya, pergaulan laki-laki dan perempuan di sekolahku sangat dibatasi. Walaupun berdekatan dalam satu kelas tetap ada sekat tak terlihat berupa peraturan-peraturan yang menggunung. Hal ini pun memunculkan kecanggungan antar lawan jenis.

Memang hal tersebut wajar terjadi di lingkungan pesantren utamanya pasal kasih tak sampai. Terbentur aturan mahram dan banyak lainnya. Hanya saja, menurut pengamatanku kondisi di kelasku sudah terlampau parah. Teman-temanku sering bertingkah konyol. Mereka tidak berani masuk ke kelas.

Mereka lebih memilih untuk berbaris di depan pintu layaknya orang-orang yang antri beras raskin. Tentunya aku tidak ikut-ikutan. Karena aku sudah datang lebih pagi dari mereka dan tak jarang aku menjadi satu-satunya laki-laki yang duduk di dalam kelas.

Lihat selengkapnya