Kebiasaan yang sering aku lakukan se-masa MI adalah ikut lomba. Aneh memang, begitu pula pendapat Hidayat, Widodo, Alan, hingga kakakku. Lomba apa pun itu. Mulai dari Pramuka, Hizbul Wathon, Matematika, hingga pengetahuan umum. Kadang berakhir dengan sebuah prestasi terkadang juga hanya menelan hampa.
Bukan karena aku adalah seorang manusia super yang ahli segalanya. Seratus persen bukan. Jika engkau berpendapat seperti demikian, maka engkau sama halnya dengan teman-temanku dari markas bambu. Hanya saja bedanya aku tidak mengenal engkau.
Dan biasanya teman seperjuanganku adalah perdana untuk bidang Matematika dan masalah ilmu umum. Kami layaknya dua lapis roti yang selalu berdampingan ketika ada even keluar. Sampai Alan pun heran, otak kami sering di adu tapi nggak pernah sakit. Lain halnya dengan kepanduan, satu kelas pun ikut semua.
Karena tidak ada anggota lain yang bisa dipilih, maka kedalaman keterampilan pun seadanya. Dari sini aku bisa menyimpulkan bahwa semua orang bisa menjadi seorang Hero bila di tengah kondisi keterbatasan. Berkat teori itulah kawan-kawanku menjadi penyelamat bagi kontingen sekolah kami.
Hal itu pun membuat Hidayat, Widodo, sampai Alan pun pernah ikut perkemahan kepanduan tingkat kabupaten. Walaupun kami hanya sebatas main-main. Ketika waktunya senam pagi, kita justru asyik bergelut dengan selimut. Dan bahkan ketika penjelajahan pun kita tak ubahnya anak ladang yang bertemu kampung halaman.
Tidak ikut peraturan, sering mendahului kelompok lainnya, dan memotong rute. Hanya saja bedanya di rute penjelajahan tidak ada rimbunan bambu seperti halnya di kampung bambu. Kami pun sempat bertingkah konyol seperti halnya anak-anak di film Laskar Pelangi, namun tanpa cat di muka.
Tak disangka hal itu pun menambah nilai penjelajahan kami walau kelompok kami terlalu sering melanggar peraturan. Intinya adalah berani tampil beda. Jangan tanya siapa pemimpin regunya. Aku pun sebenarnya tidak mau menjadi ketua regu. Dengan menggunakan prinsip saling tunjuk akhirnya terpilih lah aku dengan berat hati tentunya.
Walaupun demikian, tak disangka dan tak pernah terbayang sebelumnya. Ternyata kontingen kami meraih juara umum ke tiga. Padahal kami hanya sekali berlatih. Itu pun satu hari sebelum berangkat ke medan tempur hanya menghafalkan yel-yel. Anehnya kita tidak pernah menyanyikan yel-yel yang telah susah-susah kami hafal. Begitu pula dengan tenda yang sering ambruk.
Dan yang lebih buruk, beberapa anggotaku menjadi tersangka utama penembakan pistol mainan ke tenda sebelah. Salsabila si pelaku utama pun mengelak bahwa mereka lah yang mengawali perang pistol mainan. Aku hanya bisa menutup wajah sembari mencoba tidak mendengarkan omelan dari panitia dan guru pembina.
***
Bulan keempat bagi sekolahanku menjadi hari-hari yang paling sibuk. Dalam rentang waktu satu bulan akan ada dua even bergengsi sekaligus yakni Olimpiade mata pelajaran tingkat Jawa Timur yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara untuk even yang kedua merupakan kontes lomba menyanyi tingkat sekolahan.
Dua ajang tersebut seakan menjadi mutiara yang diperebutkan oleh banyak siswa. Bagi siswa baru, ini adalah sebuah kebanggan sekaligus kesempatan untuk ikut andil dalam mempertahankan juara umum yang telah direngkuh oleh sekolahanku selama 2 tahun berturut-turut.
Di lain sisi, lomba nyanyi pun menjadi dunia tersendiri bagi siswa baru. Karena BSP atau bahana suara pelajar—begitulah kami menyebutnya—merupakan even spesial yang diperuntukkan untuk menjaring bakat dan minat siswa kelas 7 dalam bidang tarik suara.
Di tengah gemerlapnya dua even akbar tersebut, aku berdiri di tengah persimpangan jalan. Berkat dua even tersebut aku sadar bahwa hidup adalah sebuah pilihan yang harus dipertanggung jawabkan.
***
“Tadi di papan pengumuman, ada pengumuman.”