Seperti halnya sebuah tunas, teman-temanku yang semuanya berstatus santri kecuali diriku menjalani babak baru dalam perjalanan mengais ilmu. Entah itu mereka yang tengah beradaptasi dengan lingkungan boarding school tempat keseharian mereka berada. Atau aku yang harus juga beradaptasi dengan kondisiku yang kini telah menginjak masa SMP. Satu hal yang patut di ingat adalah ketika itu, kami tengah berada pada posisi sebagai seorang remaja.
Menjadi sebuah rahasia umum dan barangkali para psikolog pun sudah capek apabila engkau tanya masalah remaja. Di masa itu berkumpullah beraneka macam masalah dan persoalan yang membuat bingung orang tua, guru, teman, hingga diri sendiri yang berstatuskan remaja. Mulai dari masalah pergaulan, percintaan, hingga etika. Bahkan di buku Bimbingan Konseling yang kami dapat pun dipaparkan dengan jelas bahwa masa remaja adalah masa yang paling rawan dalam fase kehidupan manusia.
Tak salah apabila bang Rhoma Irama, pemusik kondang nusantara sekaligus musisi pujaan kakek-nenekku bahkan membuat lagu bertemakan remaja. Dan kabarnya lagu tersebut tetap diputar sepanjang zaman. Darah muda namanya apabila engkau agak lupa. Ia menyebut di dalam syair lagunya bahwa remaja adalah masa yang berapi-api. Bukan berarti aku dan seluruh temanku bisa mengendalikan api layaknya salah satu karakter di film Fantastic Four kesukaan Widodo.
Melainkan kata itu tidak lebih dari sekadar istilah. Kita semua pasti paham bahwa istilah api erat kaitannya dengan si jago merah yang benar-benar jago untuk menghanguskan. Begitu pula dengan remaja. Mereka cenderung untuk melawan omongan, melanggar peraturan, hingga merusak norma kemasyarakatan. Bersyukurlah mereka yang terikat oleh status santri, terproteksi di balik tembok suci, milik pesantren.
Namun, santri juga manusia. Tak jarang teman-temanku mulai terjangkit salah satu penyakit remaja. Awalnya aku merasa baik-baik saja, namun lambat laun aku mulai merasa bahwa lingkungan kelasku mulai terjangkit sebuah virus. Sebut saja virus merah jambu. Dan penyebarannya pun tidak bisa terprediksi, mulai dari ruang kelas, kantin, hingga kelas milik kakak kelas.
Tentu hal tersebut terjadi akibat adanya dinding pemisah setebal peraturan pesantren antara ikhwan (kaum adam) dan akhwat (kaum hawa). Memang sebuah cerita klasik percintaan antar santriwan dan santriwati mungkin sudah ditakdirkan keberadaannya. Diketahui atau pun tidak, pasti setiap pesantren kisah-kisah klasik seperti itu pasti ada dengan versi yang berbeda-beda tentunya.
Namun, seperti halnya sebuah kehidupan semua ada konsekuensinya. Apabila engkau berani membuka link pertemanan dengan lawan jenis atas dasar virus merah jambu lewat secarik kertas keramat, maka engkau akan berurusan dengan penegak keamanan pesantren. Begitulah peraturan yang sering aku dengar dari teman-teman pesantrenku yang katanya setiap malam selalu di ingatkan akan hal tersebut.
Sekali lagi, santri bukanlah seorang malaikat yang sangat patuh dengan peraturan sang pencipta. Walaupun peraturan telah berdiri kokoh didukung oleh beragam hukuman yang siap memangsa siapa saja yang melanggar, tetap saja masih ada yang berani merubuhkannya. Mengenai masalah virus merah jambu, bagi yang terjaring razia untuk santri putra dihadiahi potong rambut kilat. Tidak perlu menunjukkan model rambut apa yang ia suka, para penegak peraturan langsung membabat habis rambut mereka.
Dan menurut cerita dari temanku, mereka lebih memilih untuk pelontos dari pada harus menyisakan rambut di kepala mereka tanpa ada model potongan yang jelas. Seperti rumput teki, begitulah guyonan mereka. Sementara untuk perempuan, memakai atribut kerudung yang mencolok. Memang sepintas terlihat seperti seni karena tersusun atas beraneka warna. Namun, apabila dilihat dari kejauhan sangat tidak mengenakkan. Siapa juga yang mau menjadi manusia berbeda di antara kerumunan wanita.