Bagi kami, sepak bola adalah sebuah bahasa universal yang dapat menyatukan beragam perbedaan. Dan bahasa tersebut telah lama ada di negeri ini, terutama kiprah tim nasional Indonesia di kancah dunia. Walaupun pasang surut prestasi sering dilalui, rakyat Indonesia tetap membanjiri stadion, melupakan sejenak kepahitan hidup yang ada, dan mendukung garuda atas nama rasa nasionalisme.
Begitu pula dengan kami anak-anak kampung bambu. Terdiri atas beragam latar belakang keluarga, golongan, hingga sekolah. Walaupun banyak perbedaan yang ada, namun kami dapat dipersatukan oleh sepak bola. Kami tidak membutuhkan rumput bagus bak rumput milik stadion-stadion di Eropa yang hanya bisa kami pandang lewat layar kaca. Kami pun tidak perlu sepatu bagus layaknya bintang sepak bola dunia.
Yang kami butuhkan hanya sebuah lapangan kosong lengkap dengan bola plastik. Syukur-syukur ada salah satu dari kami yang berbaik hati membelikan air dingin 1500 ml seharga 500 perak. Sekedar untuk melepas dahaga. Dan sudah barang tentu, lapangan yang dimaksud dekat dengan kandang sapi milik Hidayat beserta markas bambu milik anak-anak kampung bambu.
Layaknya sebuah hukum alam, solidaritas kami pun lambat laun terbentuk. Biasanya, pertandingan dimulai selepas Ashar dengan titik kumpul di lapangan bambu. Begitulah kami menyebutnya karena area kosong penuh rumput itu dikelilingi oleh rimbunan bambu. Namun, pasti ada sebagian kawan kami yang menunggu karena aku dan beberapa temanku harus mengambil kelas TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di sore hari.
Walaupun demikian, kami tetap menikmati detik-detik ketika kami dipersatukan lewat sepak bola. Tak jarang ada momen-momen lucu yang tidak bisa dilupakan oleh akal pikiran. Mulai dari bola plastik yang melambung tinggi hingga masuk ke sela-sela bambu, hingga pertandingan yang tengah berjalan seru tiba-tiba saja berhenti. Bukan karena tiba-tiba kami dikerumuni oleh wartawan reporter bola, melainkan disebabkan oleh ulah binatang peliharaan Hidayat.
Tak jarang insiden kambing-kambing milik Hidayat yang tengah dilepas ke padang rumput dekat lapangan tiba-tiba saja masuk ke lapangan. Tak berhenti sampai disitu, kerumunan kambing tersebut juga ikut mengejar bola yang saling diperebutkan oleh dua tim. Hal tersebut tentu membuat kami tertawa geli, namun ada pula yang justru terganggu. Barangkali untuk anggota tim yang tengah tertinggal skor.
Apalagi ketika mentari sudah mulai berkemas dan memancarkan cahayanya di celah-celah bambu. Hidayat pasti akan mendapatkan jatah marah dari tim yang terlihat kalah. Karena kami semua sepakat bahwa pertandingan selesai bukan ketika adzan maghrib berkumandang, melainkan ketika senja sudah mulai menguning.