Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #16

Putih

 Ada dua ketakutan yang sering diutarakan oleh siswa-siswa di negeri ini. Bukan karena guru killer di sekolahannya atau SPP yang melebihi langit tingginya. Justru dua hal ini lebih horror dari mereka berdua. Ketakutan yang pertama adalah tentang MOS atau masa orientasi sekolah. Banyak siswa baru di zaman dua menteri yang tengah lalu, takut akan kegiatan ini. Padahal sejatinya kegiatan ini berguna untuk mengenalkan lingkungan baru kepada siswa baru di tahun ajaran baru.

Namun apalah daya pasti selalu ada bumbu senioritas di sana-sini sehingga membuat momen tersebut terlihat mencekam walaupun cuma beberap hari. Ketakutan yang kedua mengenai Ujian Nasional atau UN. Banyak yang mengganti akronim tersebut menjadi Ujian Nasib. Memang hal tersebut ada benarnya, karena 3 tahun masa pembelajaran hanya ditentukan oleh 3 hari masa UN.

Untuk ketakutan yang pertama, aku sendiri tidak terlalu peduli. Coba tanya Hidayat, ketika MOS berlangsung, ia langsung bermanuver dengan sok kenal sekaligus sok dekat kepada ketua OSIS kala itu. Namun untuk yang kedua entah mengapa tiba-tiba saja muncul ketakutan di dalam hati. Begitulah hati manusia, kadangkala bertingkah pengecut. Ada saja alasan yang membuat manusia menjadi minder.

Tiga tahun berjalan begitu cepat. Persahabatan kami mulai merenggang, Fajar sudah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Sementara Hidayat, Alan, Rozaq, dan Widodo sibuk dengan urusannya masing-masing. Entah itu belajar hingga bermain PS. Forum anak kampung bambu selepas Dhuhur pun sudah jarang digelar. Semua berjalan cepat dan memunculkan aura kesuraman.

“Sudah siap UN?” tanyaku kepada Hidayat yang kebetulan bertemu di markas bambu selepas bimbingan belajar.

Ia malah mentertawai pertanyaanku. Aku pun mengernyitkan dahi sembari bergumam di dalam hati, “Apa ia tidak punya kalender di rumah”.

Lihat selengkapnya