Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #17

Ledakan Mimpi

Aku tengah memakai beragam atribut kurang penting. Mulai dari topi nggak penting, emoticon dari kardus bekas yang menggantung di leher, hingga buku catatan kecil dari kumpulan lembaran kertas bekas. Namun, aku tidak boleh sedetik pun melakukan protes apalagi melakukan makar ke kepala sekolah. Karena kartu jaminan dari beragam atribut tidak penting itu dikalungkan di leherku. Kartu peserta MOS.

Kini pakaianku berevolusi sudah tidak lagi putih biru. Karena sekarang celanaku sudah berganti warna menjadi abu-abu. Bukan karena warna dari celana biruku luntur akibat terlalu lama tidak dicuci. Hal tersebut terlalu konyol apabila dibuktikan lewat ilmu pengetahuan. Tentu aku mendapatkan bekas tetanggaku yang kini telah lulus dari MA. Begitulah prinsip yang sering aku pegang, tidak perlu beli baru kalau ada barang bekasnya.

Saat itu aku memang tengah mengikuti hari pertama masa orientasi siswa. Dengan wajah-wajah teman santri yang sebagian baru. Namun tak jarang pula yang pun memaksaku membuka kenangan menyakitkan UN beberapa bulan yang telah lalu. Di lingkungan yang baru ini, hanya ada aku, Hidayat, Rozzaq, Perdana, dan beberapa teman lainnya dari kampung bambu.

Sementara Alan, Afiq, dan Widodo lebih memilih untuk menghindari sekolah itu. Selain karena lokasi sekolahnya yang berada di jantung pesantren bahasa langit, juga mereka enggan terlalu lama berjibaku dengan peraturan yang sangat ketat. Lantas mengapa aku masih memilih melanjutkan sekolah disitu, karena memang sekolahan ini tidak terbaik melainkan lebih baik dari pada sekolah sederajat di kampung bambu.

Walaupun aku telah mengubur harapan atas kesempatan keduaku untuk bisa mengais ilmu lebih dalam di pesantren bahasa langit. Seperti yang aku khawatirkan sebelumnya, jawaban yang kuterima dari ayahku pun relatif sama dengan permintaanku untuk menjadi santri 3 tahun yang lalu. Entah apa yang membuatnya masih menolak permintaan yang tergolong mulia itu. Aku tidak meminta smartphone atau sepeda motor baru seperti halnya permintaan teman sebayaku. Aku hanya ingin menjadi seorang santri. Namun tetap saja ia menolakku.

Apabila 3 tahun yang lalu aku belum ikhlas melepas harapan itu, namun untuk sekarang aku telah ikhlas dan bersiap melupakannya. Lagian sekolah baruku juga berada di dalam pesantren bahasa langit sehingga kurang lebih aku sudah bisa menjadi santri walaupun hanya untuk beberapa jam saja. Apalagi kurikulum yang dipakai sudah terintegrasi dengan pelajaran pesantren sehingga tidak perlu berstatus santri untuk mendapatkan pelajaran pesantren.

Lihat selengkapnya