Bahasa Langit

Syafi'ul Mubarok
Chapter #19

Bunglon

Selain senja, momen lain yang aku suka adalah mendung. Ketika awan-awan hitam mulai menggumpal di langit, percayalah engkau akan merasakan sensasi yang berbeda. Apalagi ketika wajahmu engkau hadapkan ke angkasa. Rasakan angin musim hujan. Rasakan kesejukan yang semoga menarikmu ke kenangan masa lalu. Begitulah, hujan tercipta bukan karena kepedihan melainkan sang pencipta memberimu kesempatan untuk mengagumi alam semesta.

Pernah suatu ketika di sore yang mendung, anak-anak kampung bambu sepakat untuk meniadakan pertandingan sepak bola di sore itu. Karena kami tidak menginginkan adanya korban sambaran petir ditambah angin kencang yang siap merubuhkan sekawanan bambu. Siapa juga gerangan yang ingin dekat-dekat dengan lapangan bambu ketika sore mendung.

Terlalu banyak peristiwa tak kasat mata namun benar adanya. Sering terjadi hal-hal di luar nalar logika. Begitulah cerita sebuah kampung yang belum secerah hingar bingar kota. Aku sendiri pun tidak mau raga ini hilang entah kemana di sore yang mendung. Anak kampung sebelah konon katanya ada yang hilang akibat bermain sendirian di sore yang mendung, di lapangan bambu milik desa kami.

Mengingat cerita itu, aku pun berpikir beberapa kali untuk menerima tawaran Hidayat. Ia memintaku menemaninya mencari bunglon peliharaannya di kandang sapi dekat lapangan bambu. Cukup aneh mendengar ceritanya, apalagi setelah ia mengagetkanku lewat kemunculannya di balik rintik hujan

“Ayo, cerita itu hanya mitos tidak perlu percaya”. Ia terus meyakinkanku.

Aku pun masih tidak bergeming dengan ajakannya. Lagian buku yang aku baca di sore itu lebih menarik dari pada ajakan Hidayat.

“Kita kan berdua, jadi nggak ada yang berani ganggu”.

Ia kembali meyakinkanku untuk ikut dengannya. Beberapa penolakan dariku tidak membuatnya putus asa. Entah apa yang ada dipikiranku tiba-tiba saja aku mengikuti ajakannya.

Tanpa berpamitan dengan orang tua, aku bergegas menaruh buku bacaanku di dalam dan langsung ikut Hidayat. Kami pun meniti jalanan sunyi kampung bambu di sore basah tersebut. Selain karena sudah mendekati ghurub (waktu maghrib), juga karena banyaknya angin yang berkeliaran membuat warga kampung bambu lebih memilih untuk berdiam diri di depan televisi.

Lihat selengkapnya