Bahira

Ummu Salamah Ali
Chapter #2

Menepis Keraguan


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Takutlah pada firasat orang mukmin, sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah."

(HR. Tirmidzi)

****

Malam usai mengisi materi tahsin qiraatul quran bersama santriwati di pesantren Darussalam putri, aku kembali ke guest house yang disediakan oleh panitia acara. Ternyata Samirah juga barusan sampai di depan halaman guest house usai mengisi materi yang sama di kelompok yang berbeda.

"Mba ... besok jadi ke Kalanganyar ya, aku udah hubungi bulek dan paklek, mumpung beliau libur jadi aku bisa ketemu," ucapnya dengan tegas.

"Nggak bisa kita tunda hari Senin pagi?" Jawabku berusaha menegosiasi.

"Nggak bisa Mba, kalau Senin beliau kerja, yang ada aku nggak bisa ketemu, besok aja ya yuk! Please Mba ... mau ya." Samira berusaha meyakinkan dan merajuk padaku.

"Hmmm ... lihat jadwal besok dulu ya, bukannya besok kita mau sowan dulu ke kyai ?" ucapku.

"Ya, setelah sowan kita berangkat Mba, nggak lama kok. Penutupan acara Tahsinul Qiroaah juga masih malam habis Isya'. Jadi banyak waktu, Ahad malam atau Senin pagi baru kita balik pulang naik bus." Samirah tetap kokoh dengan keinginannya untuk berangkat besok.

Dalam lubuk hatiku yang terdalam sebenarnya ingin menolak secara tegas, tapi ada perasaan tidak enak. Samirah itu saudaraku. Meski memang bukan saudara kandung yang terikat darah. Tapi kami sudah sangat dekat seperti ada ikatan darah. Sebab sejak kecil sudah sering bersama. Setelah almarhum ayahku tiada, Baba Nabil sudah menganggapku seperi putrinya sendiri.

Bagaimana pun, kami sudah lama tidak silaturrahim bersama, apalagi ke rumah bulek dan pakleknya yang katanya sangat menunggu kehadiran kami. Lagipula, aku takut kalau menolak, nanti dia merasa tersinggung atau kecewa. Sampai pada akhirnya, dengan hati yang masih diliputi keraguan, aku berkata, "Iya, deh. Insya Allah besok kita pergi."

Meski aku sudah menyetujuinya, dalam hati aku tetap merasa cemas. Pikiranku diliputi firasat yang tak bisa aku ungkapkan. Keputusan ini masih membuatku bertanya-tanya: apa benar aku sudah melakukan yang terbaik?

"Yes ... akhirnya," ucap Samirah dengan wajah yang berbinar karena aku mengiyakan ajakannya. Lalu dia memelukku erat, sembari berkata, "Pasti seru Mba, petualangan baru."

Aku bertanya untuk memastikan, "Emangnya besok kita ke Kalanganyar naik apa? Naik bus kan?"

"Naik sepeda motor Mba," jawabnya tegas.

"Seriously? Naik sepeda motor? Pinjam motor siapa?" Tanyaku padanya.

"Aku pinjam punya Rania Mba, aku udah ngomong kok. Dan dia mengizinkan, pas banget dia nggak makek motornya, nggak kemana-mana juga, toh kita kesana cuma bentar, sebelum Ashar sudah balik." Tegasnya dengan jawaban yang cepat seakan tanpa jeda.

Dia menyebut nama Rania, sahabatnya yang sedang menyelesaikan studi S2 di kampus Darussalam Putri. Aku tahu Rania cukup dekat dengan Samirah, jadi aku tak heran jika dia akan meminjamkan motor. Aku hanya mengangguk pelan. Sedikit lega karena Samirah sudah memastikan soal motor, tapi dalam hatiku masih terbersit kekhawatiran. Namun, aku tak ingin merusak suasana. Jadi, aku memilih untuk diam, berharap esok hari berjalan dengan lancar, bisa menikmati keindahan alam sekitar.

Setelah beberapa kali memikirkan ajakan Samirah untuk pergi ke rumah bibiknya di Kalanganyar, Solo, akhirnya aku mencoba mencari jalan tengah. Aku tahu Samirah begitu bersemangat, tapi aku tetap merasa kurang nyaman dengan ide pergi naik sepeda motor. Jaraknya lumayan jauh kalau menurutku. Kisaran 1-2 jam kalau dilihat dari google map, dan bagiku perjalanan panjang dengan motor bisa sangat melelahkan di tengah cuaca yang tak menentu kadang panas kadang tiba-tiba hujan.

"Samirah, bagaimana kalau kita berangkat naik bus saja? Atau kalau mau lebih nyaman, kita bisa patungan untuk sewa mobil. Perjalanannya jadi lebih santai, kita bisa saving tenaga untuk penutupan acara. Dan kita juga enggak perlu khawatir soal hujan atau panas," aku mencoba menawarkan alternatif dengan suara sehalus mungkin, berharap dia mempertimbangkan pendapatku.

Namun Samirah tetap kokoh dengan pendiriannya. Dia tersenyum kecil, tapi aku bisa lihat sorot matanya memancarkan keyakinan. "Ah, enggak usah, Mba. Naik motor itu lebih praktis. Lebih cepat, nanti kita lewat jalur alternatif yang terdekat. Lagipula, kita bisa lebih fleksibel kapan mau berhenti, dan enggak perlu repot nunggu bus atau bayar lebih buat sewa mobil. Perjalanannya juga enggak akan lama kok, nanti aku yang nyetir deh Mba," dia tak berhenti membujukku agar yakin dengan keputusannya.

Aku diam sejenak, menghela napas panjang. Meskipun hatiku masih bimbang, aku tak ingin mengecewakan Samirah. Dia jelas sangat menginginkan kami pergi dengan motor. "Baiklah, bismillah," kataku akhirnya, meski dalam hati penuh harapan dan doa agar di perjalanan nanti diberikan kelancaran dan keselamatan.

Lihat selengkapnya