Antara Dua Dimensi
“Perihal ajal memang misteri ilahi, jika sudah tiba masanya tak ada seorang pun yang bisa berlari, sebab malaikat maut datang tanpa permisi.”
Dalam gelap yang pekat diriku terpikat dengan ketenangan yang nikmat. Aku merasakan jiwaku melayang tanpa aku tahu tujuannya. Tubuhku seolah terpisah dari dunia yang fana, membawaku pada dimensi yang berbeda, tak pernah aku kenal sebelumnya. Hanya kesunyian yang kurasa, hampa tanpa ada suara, namun entah mengapa hatiku tak gundah atau merasa takut, hanya kedamaian yang menyelimuti sukma.
Dari kejauhan, pandanganku melihat secercah cahaya lembut yang menembus kegelapan secara perlahan. Cahaya itu kian mendekat dan pandanganku mulai jelas, aku melihat sosok yang aku rindukan. Ayahku. Almarhum ayahku tampak berseri-seri mengenakan kain ihram yang putih nan suci. Di wajahnya terukir senyuman penuh cinta dan kasih, sama persis seperti senyuman ayah yang selalu ditunjukkan padaku semasa hidup di dunia. Aku terpaku melihat sosoknya berada di depan Multazam, salah satu tempat mustajab untuk melangitkan doa di dekat pintu Ka’bah. Aku masih tak percaya ayah hadir di hadapanku, mengulurkan tangannya padaku dan aku menyambut uluran tangannya tanpa ragu, meski lisanku kelu seakan membisu. Seolah-olah ayah mengajakku mendekat padanya, aku pun terus melangkah mengikutinya. Tanganku digenggam ayah, seketika aku merasa genggamannya begitu nyata, menembus batas ruang dan waktu. Aku merasakan kehangatan dari genggaman tangannya menjalar dalam diriku, sesuatu yang selama dua belas tahun terakhir hanya hadir dalam kenangan dan kumpulan rindu.
Ayah menengadahkan tangan di depan Multazam lalu menatapku. Kami lalu berjalan bersama menyusuri tempat indah yang tak pernah aku singgahi sebelumnya. Langkah-langkah kami berujung di Roudhoh, tepat di depan mimbar Nabi. “Assalamu ‘alaika ya rasulallah, allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad,” batinku reflek berucap salam. Suasana sepi dan tenang, tidak ada orang lain, hanya aku dan ayah. Aku merasakan ketenangan yang luar biasa, keberkahan yang begitu dalam, sedalam palung samudera. Seolah semua beban dunia sirna begitu saja. Setiap doa yang aku haturkan dan kulangitkan, setiap keluh kesah yang aku bisikkan seakan menjadi begitu ringan di sini – bagian dari taman surga.
Aku merasakan nikmat yang begitu besar bisa berada di Roudhoh tanpa perlu antri, dan dalam keadaan sepi. Mungkinkah ini salah satu bentuk syafaat Rasulullah saat aku mengucapkan shalawat dan salam padanya setiap hari ribuan kali? Aku ingin terus berada di sini, berlama-lama tanpa berdekatan dengan baginda nabi di masjid Nabawi. Kuasa Allah aku berada di sini, bersama ayahku yang sejak dulu sebelum meninggal ingin bisa kembali ke Makkah dan Madinah bersamaku. Dan sekarang ini terwujud nyata, aku pun masih bertanya-tanya pada diriku, masih tak percaya, bagaikan potongan puzzle mimpiku yang terealisasi. Apakah kini ruhku telah dipanggil kembali pada ilahi? Hingga aku bisa melepas rindu dengan ayah, bisa berduaan di Multazam dan Roudhoh. Benarkah aku kini sudah berpindah alam? Dan kini jiwaku bisa berjumpa dengan ayahku. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. “Allah … jadikan kematianku husnul khatimah, aku pergi bukan untuk maksiat, aku pergi untuk kebaikan, engkau yang Maha Tahu segalanya, bahkan niat tiap insan yang tersembunyi dalam hati,” ucapku dalam hati dengan tangan menengadah.
Ayah menatapku dengan lembut tanpa sepatah kata. Namun tatapan itu penuh makna tersirat, ia menginginkanku kembali untuk melanjutkan perjuangan hidup dengan penuh keikhlasan, kesabaran, ketekunan dan keberanian seperti yang ia jalani dulu. Ia memelukku erat, aku merasakan kehangatan kasih sayang dalam dekapannya. Aku pejamkan mata, berharap dekapan yang aku rindukan ini selamanya. Tapi saat kubuka mataku perlahan sosoknya telah tiada. Aku sendirian di depan mimbar, sekelilingku masih sepi hingga kurasakan tepukan tangan seseorang di pundakku, lalu semua yang di hadapanku perlahan memudar, berganti dengan kegelapan yang menyelimutiku.
Aku merasakan ada kekuatan yang mendorongku untuk segera kembali. Kembali ke duniaku dengan semangat juang dan harapan yang baru. Dengan penuh rasa syukur aku mencoba untuk membuka mataku perlahan, menyadari bahwa aku mendapatkan anugerah dari indahnya pertemuan. Semua masih gelap, namun mulai terdengar suara-suara samar memanggilku. Seperti panggilan dari tempat yang jauh. Semakin lama, semakin terdengar sedikit jelas menyusup masuk ke dalam pikiranku yang masih tertutup kabut tipis.
Hening dan kembali bising di tempat asing. Dalam keheningan yang menyelimuti, aku mulai mendengar suara-suara samar. Seperti bisikan dari kejauhan, suara itu datang dan pergi, kadang sepi lalu menguat lagi. Aku tidak tahu di mana aku berada, tapi ada sesuatu yang terasa aneh—kehangatan yang berbeda dari kedamaian yang kurasakan sebelumnya. Suara itu semakin jelas, seperti panggilan yang bersikeras ingin membangunkanku.
“Nak ... Nak, ayo sadar,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih tegas. Seperti suara seseorang yang asing, tapi entah kenapa penuh perhatian dan tulus. Aku ingin sekali merespons, ingin menjawab bahwa aku mendengar panggilan itu, namun tubuhku tak mampu, seolah ada beban yang menahan setiap gerakan.
Suara itu terus memanggil, tanpa lelah. “Nak, ayo bangun,” ada harapan dan dorongan di dalamnya, seakan ia ingin sekali menarikku keluar dari kegelapan yang sedang memelukku erat. Tubuhku sedikit berguncang, seperti ada tangan yang dengan lembut mencoba menggoyangkanku, berusaha membuatku sadar. Guncangan itu terasa seperti sambaran energi yang perlahan-lahan mengembalikan kesadaranku, membuatku menyadari bahwa aku masih ada di dunia ini, di antara orang-orang yang ingin aku kembali.
“Ini masih hidup,” suara asing yang lain mulai aku dengar, sembari memegang pergelangan tanganaku.