Berlari mengejar dan menyusul seperti itu seperti sudah menjadi kebiasaan--Silviana maksudku. Ia semacam punya kegemaran aneh; suka menempel dan hobi menguntit.
Aku baru saja hendak pulang ketika Silviana berteriak memanggil. Suaranya cempreng seperti kaleng. Tangannya meraih boncengan belakang sepedaku.
”Kris... Kris....“ panggilnya dengan terengah-engah mengatur napas. ”Kris... Kris.... Romo... memmberimu... dobel hosti..., enggak?“
Ha?
”Ya atau enggak?“
Kenapa memangnya? Aku perhatikan anak kecil itu, bocah perempuan kelas lima SD, rambutnya kucir dua, berantakan di pundak kiri dan kanan.
”Ya atau enggak, sih? Lama betul menjawabnya!“ Boncengan sepedaku diguncang-guncang.
"Aku enggak ikut komuni," jawabku.
Silviana meringis. ”Lama sekali Kris enggak pergi ke gereja. Aku sampai khawatir.“
Aku mengernyit. ”Bicara apa kamu? Dasar bayi.“
”Aku enggak bayi!“ jerit Silviana. Matanya mulai merebak air mata. ”Aku sudah bisa berjalan!“
”Bayi suka menjerit-jerit dan menangis.“ Setang sepeda aku sentak menjauh. Silviana kaget dan hampir jatuh. "Pergi jauh kamu! Jangan suka mengintil! Kayak upil!”
Pinggangku ditonjok. Silviana mengacungkan kepalan tangan. Ujung hidungnya merah dan mukanya merengut marah. Aku buru-buru menggenjot sepeda menjauh. Tidak mau ditonjok untul kedua kali.
Urusan yang ada hubungannya dengan Silviana ini semua gara-gara ibu. Seumpama ia tidak pernah punya keinginan menjadi orang saleh, tentu aku dan Silviana tidak akan pernah bertemu.
”Ayo, cepat mandi. Nanti kita terlambat ke gereja,” suruhnya.
Aku mengernyit. Ini pasti hanya salah satu cara supaya aku tidak lagi bertanya-tanya tentang bayangan hitam yang tiba-tiba masuk rumah.
Aku sempat mengira itu bapak, tapi ibu bilang tidak. Aku ingin bertanya lagi, tapi ibu segera mendorongku ke kamar mandi.
Malam sebelum tiba-tiba ibu memutuskan ingin menjadi orang saleh, aku melihat sekelebat bayangan hitam masuk rumah. Aku menengok cepat. Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Seumpama itu demit tapi setan tidak bisa menembus tembok.
Tengah malam aku terjaga karena suara orang mengobrol di rumah tamu. Aku kenal suara Ibu, suara yang satu lagi aku tidak tahu – berat dan datar dan dalam. Seperti suara laki-laki berumur.. Bapak, ya? Ibu sedang berbicara dengan bapak, ya? Bapak sudah pulang, ya? Lama sekali kami sudah tidak bertemu. Bapak tiba-tiba menghilang dari rumah tahun 90-an, saat aku kelas empat SD. Ibu menjemputku pulang sekolah dengan mata sembab dan tidak mengatakan apa-apa kecuali bapak mendapat panggilan kerja di kota lain dan harus segera berangkat.
Bapak sudah pulang?
Aku bangkit dengan mata setengah terpejam. Tapi, kemudian – duk. Aku tak tahan mengantuk. Bukannya keluar kamar tapi aku malah jatuh menggelundung jatuh dan langsung terlelap. Ibu yang memberi tahu keesokan paginya kalau aku tatuh tertidur tengkurap di lantai.
”Siapa yang memindahku ke tempat tidur?” Aku ingat jatuh menggelundung tapi tidak ingat kapan bangkit kembali ke kasur.
Ibu diam sebentar. ”Aku...”
Tidak percaya, ibu kurus kering begitu. Terakhir ia masih kuat menggendong adalah saat aku kelas dua. “Bapak, ya? Sekarang Bapak di mana? Bapak sudah berangkat bekerja lagi?“
”Sebaiknya kamu segera mandi. Kita akan pergi.“
”Bapak mana?“
”Gereja.“
”Bapak ke gereja?“
”Kita akan ke gereja.“
”Bapak? Bapak sudah berangkat? Bekerja ke luar kota lagi?“