Yesus Mencintai Orang Papa
Aku naik kelas enam dengan nilai yang sangat bagus. Meski di hadapan orang lain keluarga kami dijelek-jelekkan oleh tetangga yang membenci kami, aku dan Ibu tetap rajin ibadat.
Hari Minggu ini kami berangkat ke gereja dengan penuh semangat. Suasana hatiku sedang baik. Hariku cerah seperti disinari matahari pagi diiringi ocehan burung pipit.
Burung pipit yang kecil, dikasihi Tuhan. Terlebih diriku, dikasihi Tuhan.
Ibu sepertinya lega ketika melihatku begitu riang. Seusai misa, Ibu kembali memanjatkan doa yang begitu panjang. Aku menyelinap keluar berkeliling gereja.
Seorang bocah laki-laki seumuranku lewat membawa piala anggur yang telah dibersihkan. Aku ingin menyentuh piala anggur tersebut --sudah lama sekali aku punya keinginan menjadi Putra Altar, tapi tingkah-polah Ibu yang mirip pencoleng setiap kami ke gereja membuatku sadar bahwa cita-cita menjadi Putra Altar adalah sia-sia.
Bocah laki-laki itu kaget ketika aku merebut Piala Anggur dari tangannya. Aku juga kaget melihat bocah itu kaget. Piala Anggur jatuh menggelincir – untung tidak sampai bergelondang hingga ke tanah. Anak yang bertugas hari itu menangkapnya dengan cekatan.
”Heh! Kamu siapa!?" Ia memerhatikanku dari puncak kepala hingga ujung sepatu yang kumuh dan bagian depannya agak terbuka. "Kamu anak gembel! Ngapain di sini!? Pergi!“ serunya.
Aku berusaha merebut piala itu kembali. Anak itu menyembunyikannya ke balik punggung sambil mundur menghindar.
”Pulang sana! Gembel enggak boleh ke gereja! Anak gembeeel...! Anak gembeeel...!"
”Romo bilang aku boleh membantu, kok! Aku juga boleh jadi Putra Altar," kataku.
Bocah laki-laki itu semakin giat mengolok-olokku. "Halah, ngarang! Kamu itu siapa, heh! Lagian, koen itu terlalu kumal untuk jadi Putra Altar! Enggak malu, ta – kaus kakimu sudah melar begitu! Bapak ibumu gembel pengemis, ya? Kamu kok nggak dibeliin kaus kaki dan sepatu baru!"
Mukaku memanas. Bapak ibuku bukan pengemis. Lagian kalau pengemis, Yesus saja mencintai orang papa!
Ingin rasanya aku balas berteriak, tapi aku seolah tak punya tenaga. Kepalaku jatuh menunduk. Bocah laki-laki itu kembali bersorak dan mengejek. Padahal aku tidak menangis tapi ia mengolokku cengeng. Aku ingin mengangkat kepala untuk menunjukkan bahwa mataku tidak berkaca-kaca, tapi kepalaku terasa begitu berat seolah diganduli rasa malu karena keluargaku miskin. Beli kaus kaki dan sepatu yang lebih layak untuk beribadat ke gereja saja tidak mampu.
Mataku terus terpaku pada karet di pergelangan kaus kaki yang melar dan melorot.
Bocah itu akhirnya pergi, masih dengan terus mengejekku. Bahkan saat sudah sampai jauh, suaranya masih terdengar bergema di lorong ruangan.
Air mataku menetes satu. Cuma satu. Sungguh, aku tidak bohong. Cuma satu tetes air mata.
Saat aku berbalik, Silviana berdiri dengan menatapku tajam-tajam. Kedua tangannya berkacak pinggang. Aku tahu siapa dia. Kami satu sekolah tapi anak perempuan itu sekarang baru kelas lima.
Silviana membuka mulut – ia pasti akan ikut meledek! Aku cepat-cepat pergi menghindar!
Silviana berteriak keras. ”Jangan nangis kamu!“
Aku terus menjauh. Inginnya aku tidak memedulikan anak perempuan gendut itu, tapi ternyata aku tidak kuat menahan diri. Aku berbalik dan balas berseru, ”Siapa, ya, yang nangis!? Aku --enggak...!“
”Iya! Kamu nangis begitu, kok! Anak laki-laki itu enggak menangis!”
"Sok tahu! Diam kamu!"
"Kelihatan jelas gitu, kok! Anak laki-laki kok menangis! Malu, ya!"
Kami malah bertengkar dengan balas berteriak.
”Yesus menangis di Taman Getsemani, ya! Jadi, enggak ada salahnya kalau anak laki-laki sesekali juga menangis!” aku membela diri.
‘”Tapi, kamu bukan Yesus! Dan, Yesus bukan anak laki-laki! Dia itu sudah besar!”
”Yesus anaknya Bapa!”
”Iya! Tapi bukan anak-anak lagi! Lagian dia, kan, Yesus. Enggak apa-apa kalau menangis –Ia sudi mengorbankan diri mau disalib untuk menebus dosa manusia! Kamu, kan, enggak. Jadi kamu enggak boleh nangis!“