Si Bandel Silviana
Sampai sekarang aku tetap menyebut Silviana sebagai musibah yang datangnya selalu tak terduga.
”Kok jahat betul. Masa aku dibilang musibah?”
”Aku sedih melihat polah-tingkahmu. Berlari mengejar bus! Bagaimana kalau ada mobil menyelonong!? Terus kamu terserempet atau yang lainnya?“
Silviana menganggapku hanya ingin mengalihkan pembicaraan. Ia merengut hendak membantah ketika kernet berdeham di dekat bangku.
”Surabaya, dua, Pak,“ kataku mengulurkan uang.
”Padahal dulu kamu baik,“ kata Silviana setelah kernet bergeser ke depan.
”Kapan!? Mana pernah!?“ sergahku cepat.
"Kamu juga baik karena di sekolah enggak suka pamer kayak teman-teman lain; sepatu baru, tas baru, jam tangan ciamik, liburan ke luar negeri, kue tar dan dirayakan di restoran mana –”
Silviana ini bagaimana!? Jelas saja aku tidak pernah pamer; melarat begini!
Terlintas di ingatanku, kalau tidak salah, dulu Silviana pernah melepas karet ikat kuncirnya karena karet penahan kaus kakiku putus. Ia mengulurkan tangan tanpa mengatakan apa-apa. Aku memasang karet rambutnya di pergelangan kaus kakiku. Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, bocah perempuan itu berlari pergi.
”Kenapa melihatku kayak begitu?” Silviana menepuk-nepuk pipiku.
”Enggak apa-apa. Cuma mengantuk.”
Aku tidur di hampir separuh perjalanan. Kantukku benar-benar tidak dapat ditahan. Untuk sementara Silviana tidak kupedulikan. Kepalaku menempel jendela. Kadang aku tersentak bangun karena salah satu bagian dalam telingaku gatal karena getaran kaca – lalu jatuh tidur kembali. Aku baru benar-benar melek saat matahari sore silau menyorot mata.
Perut Silviana berkokok seperti ayam jago.
Aku yang sedang meregangkan tubuh sambil menguap jadi tertawa. Wajah Silviana begitu murung karena lapar.
”Mau beli tahu asin atau risoles?”
Pedagang asongan banyak yang naik dan turun saat bus berhenti di lampu setopan lalu lintas. Mereka berduyun-duyun menawarkan tahu asin, atau pisang kapok, atau rokok, atau tisu basah, dan/atau yang lainnya.
Silviana menggeleng tidak berselera. Ia tidak mau jajanan berdebu dan tidak sehat.
”Mayak," ledekku.
”Biar saja....“
”Aku belikan, ya?"
Silviana segera menahan tanganku. ”Enggak mau. Kris jangan suka memaksa begitu. Enggak mauuu....!“
”Makan sedikit enggak akan bikin jatuh sakit.“
Silviana menggeleng lagi.
”Seumpama sekarang kamu makan nasi basi pun, enggak akan sakit.“
”Risoles yang dibungkus plastik saja aku enggak mau, malah disuruh makan nasi basi!“
”Lho, nasi basi itu hanya seumpama. Misalnya. Seandainya.”
”Tetap enggak mau!”
”Ya sudah, terserah kalau begitu.“
”Kok gitu? Kamu jahat begitu!“