Bahkan Jika Aku Harus Patah Hati

Desi Puspitasari
Chapter #6

Kisman

Awas Pak Kisman!

Aku baru saja sampai rumah sepulang sekolah, bocah-bocah tetangga berhamburan masuk halaman. ”He, cucunya mbah No, buka pintu cepat! Keadaan bahaya! Keadaan bahaya!“

Aku malah berdiri menghalangi pintu. Mereka harus menjelaskan terlebih dulu ada apa baru aku persilakan masuk. 

”Cepat, cepat!“ Mereka panik berdesak-desakan mirip berudu. 

”Ada apa? Kenapa? Apa?”

”Kisman sudah sampai ujung jalan! Cepat-cepat! Buka pintu cepat!“

”Siapa Kisman!?“

”Kami beri tahu nanti!“

Aku membukakan pintu. Tidak menunggu sampai terbuka lebar, mereka masuk dan segera berjongkok di bawah kusen jendela. Napas mereka terengah-engah. Bocah yang bernama Arik menarikku masuk. ”Awas, nanti kepalamu biaa hilang dipenggal!“

Aku jatuh terduduk. Yadi menutup pintu lalu merangkak kembali ke tempat persembunyian semula. ”Kisman bawa arit!“

Arik menutup korden. Keadaan rumah menjadi gelap. Mereka berlutut mengintip dari bawah gorden yang disibak sedikit. Aku menirukan tingkah mereka.

”Caaang... kacang!“ Suara parau terdengar dari kejauhan. ”Kacang! Kacang godok! Godokan kacang!“

Anak-anak itu berjongkok kembali. Mereka memeluk dengkul erat-erat. Kenapa mereka ini? Masa sama penjual kacang saja takut. Aku ditarik sampai kembali jatuh terduduk.

”Sembunyi! Bisa ketahuan nanti!“ bisik salah seorang dari mereka.

Aku tidak peduli dan kembali mengintip. Aku singkap sedikit bagian bawah korden dengan sesekali menepis tangan-tangan yang menarik-narik seragamku.

Seorang laki-laki tua berjalan melintas di depan rumah. Umurnya sekitar 60 atau 70 tahun– aku kurang tahu secara pasti. Badan Kisman kerempeng, pendek, dan sedikit bungkuk. Kulitnya hitam busik -- dari tempatku mengintip bisa terlihat kulitnya penuh garis putih bersisik karena terlalu lama kena panas. Ia tidak pincang tapi langkah kakinya seperti diseret. Suaranya begitu serak saat kembali berteriak, ”Caaang… kacang!”

Kisman memasukkan tangannya ke dalam keranjang dan menoleh – pasti merogoh arit! Aku menutup korden untuk bersembunyi. Tiba-tiba saja aku deg-degan takut bukan main. 

Pintu berderit dibuka perlahan. 

Kami duduk semakin tegang. Tidak ada lagi yang bergerak-gerak. Sebuah kepala melongok dari kain pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Bocah-bocah di sebelahku berteriak kencang!

"Aaaa... ampun, Pak Kismaaann...!"

”Kalian sedang apa?“ Ibu menatap kami dengan heran.

Salah satu dari mereka, setelah sadar telah ketakutan dengan berlebihan, ber-”Ssst, ssst,“ sambil melambai meminta Ibu pergi. Ibu menghilang masuk dapur lagi.

Sejenak kami diam tak bergerak-gerak, seruan kacang tak lagi terdengar, hanya langkah diseret yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang.

Arik membuka korden jendela dengan hati-hati. Ruang tamu kembali terang. Yadi dan Eko mengintip keluar dengan takut-takut. 

Aku pergi keluar. Jalanan lengang. Tak tampak Pak Kisman.

”Kisman mulai berkeliaran,“ bisik Arik dengan begitu serius. ”Sudah lama padahal orang itu tak lagi muncul.“

Mereka kini duduk berdesakan di mulut pintu. Kalau tidak salah mereka adalah anak tetangga samping kanan dan kiri rumah Simbah. Arik yang paling besar, lalu kakak beradik Yadi dan Eko --yang paling kecil.

”Kukira ia sudah mati,“ tanggap Yadi. 

”Jangan-jangan memang sudah mati...,“ Eko yang paling kecil ikut menimbrung, ”Hari ini Pak Kisman... bangkit dari kubur....”

Yadi menanggapi perkataan adiknya dengan mengeluarkan suara melengking dan bergetar-getar demi menambah kesan ngeri dan menakutkan. ”Hi-hi-hi-hi....“

Eko semakin yakin dengan dugaannya. ”Iya, iya! Apalagi rumah Kisman dekat kuburan! Iya, Pak Kisman sudah mati, mayatnya bangkit dan gentayangan!“

”Komplotan begundal begitu,“ gumam Arik sambil menggeleng. ”Kata simbahku, orang macam Kisman memang sakti. Dulu sekali pernah ada begundal kayak Kisman yang bolak-balik ditembak sama tentara Siliwangi tapi enggak mati-mati. Kisman bisa jadi juga seperti itu.“

”Kebal?“ Eko mencondongkan tubuh. Pertanyaannya diajukan pada Arik. 

”Kebal. Mereka enggak punya agama.“ Yadi turut menggeleng. 

”Apa hubungannya?“ tanya Eko memundurkan badan dan mendongak pada Yadi yang ada di sebelahnya.

”Mereka kerap membunuh kyai sewaktu salat subuh.“ Arik mengangkat bahu. ”Simbahku juga yang cerita. Sampai sajadah dan lantai masjid basah tergenang darah.“

”Kapan itu?“ tanyaku mencoba masuk obrolan.

Arik melirikku. ”Sudah lama sekali. Sekitar tahun empat delapan, kalau aku tidak salah ingat.“

"Memangnya kamu sudah lahir tahun segitu? Bohong kali Simbahmu."

"Simbahku selalu ngomong jujur, ya!" sergah Arik kesal.

”Simbahnya Arik sering memberi lele ke keluarga kami!" Eko turut membela Arik tapi kalimatnya tidak nyambung.

”Kenapa Kisman? Siapa dia?“ tanyaku penasaran. "Komplotan begundal apaan?"

”Bagaimana bisa kamu enggak tahu!?“ Arik menatapku heran, dan melanjutkan setelah Yadi mengingatkan bahwa aku anak baru di kampung mereka jadi wajar kalau tidak tahu. ”Kisman tukang culik anak-anak! Ia menyaru sebagai tukang jualan kacang godok!“

Tidak ada yang tahu bagaimana muasal cerita tentang Pak Kisman kecuali seorang penjual kacang godok. Ia berjalan kaki dari rumah menjajakan dagangan dengan berteriak. ”Caaangg... kacang!“

Siang hari sekitar pukul dua atau paling telat sore pukul empat, laki-laki itu mengambil rute jalan Tamrin kemudian membelok masuk ke jalan Nusa Penida. Begitu terdengar seruan kacang, bocah-bocah akan saling berbisik panik.

”Kisman datang!“

Mereka segera berlari tunggang langgang. Menyelamatkan diri. Bersembunyi di rumah siapa saja yang penting tidak berkeliaran di jalan bertemu Kisman. Pokoknya menghindar! Bila tidak... thel!

Kepala mereka putus. Menggelinding jatuh kena sabet arit Pak Kisman. 

”Kamu tahu, kan, sop yang dikasih balung sapi kuahnya menjadi gurih?” tanya Arik. ”Kaldu!”

Bocah yang berhasil diculik entah dengan cara baik-baik atau disabet kepalanya dibawa ke pondokan. Tubuhnya akan dicincang, dagingnya dijadikan makanan anjing, sedangkan tulangnya dicuci bersih. Tulang bocah dimasukkan ke dalam panci sebagai campuran air rebusan kacang. Gurihnya bukan main. Jualan Pak Kisman laku keras. Tapi, semakin ke sini jumlah pembeli semakin berkurang. Tentu saja, jumlah anak-anak yang hendak dibelikan kacang sudah menyusut banyak. 

Lihat selengkapnya