”Kris… aku lapar…. Kakiku sudah gemetaran…. Kepalaku keliyengan…. Kalau aku pingsan bagaimana?”
Kami barusan tiba di Waru, Sidoarjo. Sejam perjalanan menggunakan bus kecil dari Terminal Bungurasih.
Payah betul keadaan kami. Kaus dan seragam pramuka samar bau solar, belum lagi berasa lengket dan kumal karena keringat --padahal kami sempat cuci muka di toilet terminal. Tuhan sedang keterlaluan menyetel volume panas-Nya --bahkan sampai malam hari.
Kami turun di alamat sesuai tujuan. Silviana mengekor dengan melangkah sembarangan. Bahunya kuyu. Raut mukanya memelas. Jaketnya sudah dikenakan dengan ritsleting yang dibuka. Aku yang meminta; lebih baik berasa sedikit gerah ketimbang jatuh sakit karena masuk angin.
Kami membeli roti sekadarnya sebagai pengganjal perut sekalian menanyakan arah tujuan di sebuah warung kelontong.
”Bedeng pekerja bangunan? Bank CBA baru cabang Waru?" Pemilik warung berusaha mengingat-ingat. ”Jalan terus saja. Setelah bangunan biru, pertigaan sebelum sungai kecil, belok kiri. Tidak jauh dari sana."
Kami melanjutkan pencarian. Silviana kembali mengekor sambil sibuk mencuil-cuil roti. “Rotinya keras banget, ya ampun. Aku kayak lagi makan bongkahan semen.”
”Gigimu rompal, ya?”
”Tenggorokanku seret.”
”Sini, buat aku aja."
”Kris enggak boleh minta,“ katanya dengan suara kekanakan.
”Enggak,“ kataku. ”Aku alergi makanan enggak enak.“
Silviana tertawa kecil. ”Mayak!” makinya kesal.
Meski kurang layak, roti keras tersebut nyatanya habis juga. Ia sedikit minum, yang penting seret di tenggorokan sudah hilang, biar tidak repot kebelet pipis.
Setelah melewati bangunan berwarna biru, pertigaan sungai kecil belok kiri, kami menemukan banguan setengah jadi dengan pagar berupa seng tinggi. Bedeng tersebut didirikan dari tripleks dengan sebagian atapnya ditutup kain terpal. Terdengar keras lantunan lagu dangdut. ”Ah-ah-ah, basah diri ini, basah hati ini. Bagai mandi madu.”
Silviana mencengkeram bagian belakang kausku sementara aku mengetuk pintu. Orang-orang berhenti mengobrol. "Ada apa? Sampean siapa?”
”Saya mencari Mulyadi.”
Orang yang bertanya mengelap kelek lalu menghapus keringat di wajahnya menggunakan kaus yang sama, ”Mulyadi sedang keluar. Sampean coba cari di warung kopi.“
”Ancar-ancarnya, Pak?"
”Warung Surtinem, cat hijau. Menyetel lagu dangdut juga.”
”Sampean bisa dengar musiknya, kok, meski belum sampai-- saking kerasnya volume yang disetel,” sahut yang lain sambil terkekeh.
Kami pamit dan kembali menyusur jalan. Waru saat malam jam segini sudah begitu sepi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup. Ini malam minggu, bila pacaran sudah semestinya masing-masing sudah pulang ke rumah. Tapi, aku dan Silviana malah semacam luntang-lantung berdua di jalan.
‘”Kris...,” panggil Silviana. Kami baru saja membelok di sebuah perempatan. “Pundakku capek. Kamu enggak pengin bantu bawain tasku?"”
”Enggak.”
”Kamu enggak pernah sayang Silviana.“
”Memang.”
”Silviana benci Kris.“
”Biar saja.“
”Kok begituuu....?“
”Sepertinya kemarin ada yang pernah bilang begini, ’Terlanjur sayang – tapi Silviana sudah terlanjur sayang sama Kris’.“