Bahkan Jika Aku Harus Patah Hati

Desi Puspitasari
Chapter #8

Begundal Tengik

Tidak Pulang

Suatu malam saat kami makan singkong rebus asin, Simbah berkata, ”Kenapa berita lelayu selalu menyebutkan, ’Telah meninggal dunia dengan tenang‘? Padahal, mungkin saja orang itu meninggal sambil jingkrak-jingkrak.“

”Bicara apa sih, Mbah!?“ seruku kaget. Jalan pikiran orang tua ini aneh-aneh saja. 

”Sepertinya, besok pagi Simbah mati dengan tenang. Kamu sudah kelas 3 SMP, belajar yang rajin, Kris. Enggak usah cengeng menangisi Simbah.“

"Lho, kok dengan tenang? Nggak dengan jingkrak-jingkrak aja, Mbah?"

Simbah terkekeh-kekeh.

Ibu bergumam, ”Ini yang asin singkong rebusnya atau air mataku?”

”Simbah enggak akan mati, Bu. Sungguh,” yakinku. ”Simbah, lho, ada-ada saja.”

Orang tua itu kembali terkekeh. 

Esok paginya Simbah meninggal dunia dengan tenang di amben. Tangannya bahkan bersidekap di atas dada. Ibu panik, menangis, dan segala macam. Saat mengirim berita lelayu supaya dikabarkan ke seluruh kampung pada pak RT, aku menambahkan perkataan terakhir Simbah. ”Simbah saya meninggal dengan tenang, Pak RT, tidak dengan berjingkrak-jingkrak."

Tetangga berdatangan untuk melayat. Arik, Yadi, dan Eko datang setelah Simbah dimakamkan. Sudah lama sekali sejak kejadian Pak Kisman kami tidak lagi pernah bertemu.

”Simbahmu sakit apa?“ tanya Arik.

“Enggak sakit.”

“Enggak sakit, kok, mati?” tanya Eko. Yadi memukul bahu adiknya. 

”Memang sudah waktunya --," jawabku.

”Waktunya untuk apa?” 

"Koo, Ekoo...! Goblokmu itu kok diformalin – goblokmu awet!“ hardik Arik. "Memang sudah waktunya mati --eh, meninggal dunia!"

Selang beberapa hari kemudian, terlintas pertanyaan ini di pikiranku; apa Bapak tidak dikabari, kok ia tidak pulang? Jawaban ibu benar-benar membikin kaget, ”Bapakmu sudah tahu.“

”Sudah tahu, kenapa enggak pulang!?”

“Iya.”

Malah iya, bagaimana ibu ini? 

”Bapak enggak pulang karena enggak bisa atau enggak mau?“

”Enggak mau.“

Tidak mau!? Bagaimana bisa bapak ini !? Simbah meninggal dunia dan orang itu sebagai anak satu-satunya tidak mau datang!?

”Karena tidak bisa,” lanjut Ibu. 

“Memangnya Bapak enggak punya ongkos pulang?”

Ibu tidak menjawab.

”Bapak sekarang di mana?”

Ibu bertahan diam. Aku tahu ini masih dalam keadaan berduka tapi aku penasaran.

”Bapak di mana? Jakarta, ta? Berapa jam perjalanan dari Jakarta ke Madiun, sih? Berapa harga tiketnya? Sangat mahal sampai Bapak enggak bisa pulang sebentar?“

Mata ibu mulai berkaca-kaca.

Aku jadi kepikiran hal-hal buruk. Jangan-jangan Bapak sudah menikah lagi di tempat tinggalnya yang baru. Itu menvapa ia tidak berani pulang. Hampir tiga tahun sejak kami pindah ke Madiun dan sekalipun Bapak tak pernah muncul. 

”Aku akan menyusul Bapak! Kalau ketemu akan aku marahi ia karena durhaka. Bagaimana seumpama ibu yang meninggal dunia dan aku enggak mau melayat? Pasti aku akan dimarahi sebagai anak durhaka!”

“Bapakmu enggak durhaka,” kata ibu dengan nada suara berat. 

”Ah, nggak percaya.“

”Kris, ada waktunya bagi orang yang tidgak tahu duduk permasalahan untuk lebih baik diam.“ Raut muka ibu begitu sedih. ”Tidak ingat pesan terakhir Simbah?”

”Mati jingkrak-jingkrak!?"

“Belajar rajin!” Ibu masuk kamar. ”Kamu harus belajar rajin. Sebentar lagi kamu SMA.“

Ah!

”Kamu kira gampang mencari sekolah buat kamu!?“

Kalau tidak diterima di sekolah negeri, ya sekolah di swasta saja. Hal mudah begitu kenapa harus dibikin rumit! Cuma mengalihkan pembicaraan saja ibu ini!

Hari Sabtu pagi sekali, ketika Ibu sudah berangkat berjualan di pasar, aku mengendap masuk kamar. Aku membongkar dengan hati-hati seluruh barang yang ada di ruangan. Semua yang kuangkat akan aku letakkan kembali persis ke tempat semula.

Lihat selengkapnya