Air Mata Sedikit Baik, Terlalu Banyak Melemahkan
Bapak tak salah. Ia hanya kena tuduhan tidak beralasan dan tak dapat dibuktikan, kata Bapak sendiri.
Ya. Aku mengusap air mataku dengan perasaan jengkel. Penjahat kalau sudah ketahuan perilaku jeleknya mana ada yang mau mengaku.
“Ibumu masih sering sedih?” tanya Bapak ketika aku lama terdiam --tak mengatakan apa-apa. Bapak pasti tidak tahu aku sedang kesulitan menahan isak. Hatiku sedih bukan main.
“Ibu bilang film itu bohong.“ Aku tidak menyebut film yang berjudul apa. Bapak pasti mengerti.
“Ya,” katanya. Film itu rekaan belaka, cerita sejarah di buku pelajaran tidak seratus persen benar, lanjutnya.
”Kalian masih rutin ke gereja?" tanya Bapak dengan raut muka tak kalah sedih. "Sebaiknya kamu dan ibumu rajin beribadat.“
Aku kembali menghapus bekas air mataku dengan kasar. Bukan main benci rasanya aku pada Bapak.
Aku kembali mendongak. ”Kamu, kan, enggak punya agama! Kenapa menyuruh-nyuruh kami ke gereja!?”
"Kata siapa aku tidak punya agama?"
Aku gelagapan. "Kata orang-orang! Kata banyak orang!"
"Orang-orang bilang begitu?" Bapak ganti menatapku. Bagian dalam kedua alisnya melengkung ke atas. Itu artinya ia sedang sangat bersedih.
Mataku panas dan kembali berair. Aku menggosok cepat-cepat. Bukannya berkurang, air mataku malah membanjir keluar semakin banyak. Aku kini melolong-lolong karena tak kuat menahan sedih.
Aku kangen Bapak. Aku benci Bapak. Aku ingin dipeluk Bapak. Tapi, bapakku orang jahat.
”Belajar yang rajin, Kris.” Suara Bapak bergetar.
“Aku malu punya Bapak kamu!“
Sebuah kendaraan besar melintas mengeluarkan deru mesin yang begitu berisik.
”Bagaimana?” tanya Bapak parau.
"Aku... aku... aku...." Aku tidak bisa mengulangi perkataanku karena sesenggukanku semakin menjadi. Bapak menungguku hingga tangisku reda barulah ia mencegat sebuah bus besar.
Bapak mengantarku sampai terminal. Pada seorang kondektur bus aku dititipkan padanya.
”Koen anaknya Mul, ya?” tanya kondektur sambil mengelap wajahnya menggunakan handuk.
Aku berdiri di tangga masuk. Bus belum akan berangkat karena masih mengetem. Kondektur menarik udut dan berhenti menghitung duit di kursi depan.
”Bapakmu ini...," Kondektur bicara dengan menahan udut di mulut sehingga suaranya menjadi agak kurang jelas, ”Pendiam dan enggak punya teman. Ia mau ngomong dan menitipkanmu karena aku pernah menghutanginya rokok. Iya?“
Bapak masih diam saja. Kondektur itu tertawa.
”Bapakmu sesekali naik bus pulang ke Madiun Ah –” Seperti mendapat ilham, Kondektur menuding-nudingku penuh semangat. ”Bocah ini anak gendakamu, Mul! Soalnya kamu enggak pernah cerita. Sekarang tahu-tahu kamu datang membawa anak ini.“
Bapak tak menyangkal semua omongan Kondektur. Ia menyuruhku segera mengambil tempat duduk. Aku berjalan memilih bangku dengan Bapak masih berbicara dengan si Kondektur. ”Terima kasih, Cak. Aku titip anak itu, ya. Tolong antar sampai tujuan dengan selamat. Anak kesayanganku satu-satunya."