Apa Bisa Pacaran?
Aku pernah bertanya pada ibu; apa aku masih bisa pacaran seperti remaja normal lainnya?
”Masih bisa pacaran atau enggak?“ ulang Ibu hati-hati. ”Kamu sedang jatuh cinta?”
Ibu pernah berpesan supaya aku tak membikin ribut dan onar. Semestinya tidak akan apa-apa kalau aku pacaran. Lagian, cuma pacaran. Memangnya modealan pacaran yang bagaimana yang bisa sampai membikin masalah besar? Sepertinya tidak ada.
”Enggak.“
”Sudah punya pacar kalau begitu?"
“Enggak – belum ada pacar.”
”Kenapa? Enggak ada yang cantik, ya?”
”Banyak. Banyak yang cantik. Tapi, ndesit semua.”
Ibu tertawa. ”Lagakmu, Kris.”
”Lagak bagaimana? Aku enggak berlagak.”
Tentu saja aku tidak berlagak. Jujur saja, tampangku memang lumayan. Jangan salah, meski kurus begini, kulitku kuning langsat (aku kira dari Ibu), hidungku bangir dengan rahang bertulang tegas (semestinya kudapat dari Bapak), dan rambut berombak (gabungan antara bapak yang lurus dan ibu yang keriting ruwet). Jadi, ganteng seperti aku ini mestinya bebas untuk memilih pacar yang cantik.
”Terus?” tanya ibu.
”Ibu dengarkan Kris baik-baik; perempuan boleh punya macam-macam gaya, tapi tetap pria yang punya selera.“
Ibu tak dapat menahan tawanya.
Ibu tidak menjawab pertanyaan apakah aku bisa pacaran atau tidak. Akhirnya aku mengambil keputusan sendiri. Seumpama ada teman perempuan yang aku suka, akan aku pacari tanpa banyak pertimbangan. Begitu saja. Titik.
Karena, ya, kenyataan memang pahit. Aku harus mulai belajar berdamai dengan diri sendiri. Salah satunya dengan mengambil sikap babahno – masa bodoh. Hidup penuh kecewa begini, kalau mau dilanjut-lanjutan bersedih malah tidak ada gunanya. Lebih baik dibawa santai saja. Sedih boleh tapi jangan berlama-lama. Hanya saja masalahnya; sekarang aku SMA kelas dua dan sekali pun belum pernah pacaran.
***
”Membolos pelajaran sering, belajar silat dan setiap kali sambung selalu menangan, tapi pegangan tangan sama perempuan saja enggak pernah. Yak apa kamu, Kris!“ Seorang teman di warung meledek dengan menirukan kebiasaanku berkata yak apa.
”Pendekar belum sah disebut pendekar belum pernah bercinta-cintaan. Kan, begitu setiap kamu baca cerita silat." Ledekan itu ditanggapi oleh yang lain.
”Soalnya enggak ada yang well. Enggak ada yang yes buat dijadikan pacar,” kataku membela diri.