Bahkan Jika Aku Harus Patah Hati

Desi Puspitasari
Chapter #11

Bertemu Silviana

Upacara

1 Oktober 1996. Hari ini kelasku ditunjuk untuk mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasia di Monumen Kresek. Aku tidak mau berangkat.

Aku belum tahu bagaimana itu monumen Kresek dan sebagainya, tapi aku tahu apa artinya Hari Kesaktian Pancasila. Hanya mendengar peringatan upacaranya perutku mual.

Bapakku penjahat. Bapakku penjahat. Kalimat itu terus mengiang kepala. Membikin sakit sekali.

Aku keluar dari halaman depan sekolah, kabur ke arah warung. Tapi, teman-teman terutama Penthol sigap menahan. 

”Mau ke mana, Bung!?“

Aku didorong naik ke salah satu motor. 

”Kenapa kamu, Kris?”

”Enggak bawa topi.”

Satu teriakan keras dan sebuah topi putih abu-abu dilempar ke arahku. Entah milik siapa. 

”Enggak bawa topi saja sampai bingung begitu, Kris.”

”Enggak, kok. Aku mau beli rokok di warung.“ 

Penthol menyalakan motor. Derungnya berisik-- belum lagi ditingkahi suara motor lain yang juga tidak kalah berisik.

"Upacara di luar sekolah ini colut --bolos-- yang diizinkan. Kamu malah cari-cari alasan enggak ikut!" serunya mengalahkan deru kendaraan.

“Di monumen ada buanyak murid sekolah lain yang cantik-cantik. Kamu harus berangkat. Siapa tahu ada yang bisa dipacarin.“

Tidak ada lagi alasan untuk berkelit. Kami pergi berombongan. Aku kira akan mudah mengalihkan perhatian supaya apa yang akan aku temui tidak melulu ada hubungannya dengan cerita para komplotan begundal tengik. Tapi, aku salah.

Komplotan begundal tengik. Tubuhku meremang. Makian Arik ketika kami membicarakan Pak Kisman kembali melintas.

Tempat ini, kami tiba di Monumen Kresek, segala sesuatunya tidak mungkin bisa diabaikan untuk tidak melulu kepikiran. 

Monumen Kresek adalah semacam lapangan luas denngan semacam pintu masuk di bagian depan. Papan marmer dengan tulisan keterangan ”Monumen Keganasan PKI Tahun 1948 di Madiun“.

Bapak mestinya tidak terlibat peristiwa di Madiun. Ia baru berusia enam tahun saat tahun ’48. 

Kami masuk melalui jalan menurun dengan pajangan patung berupa mayat-mayat ditumpuk di bagian sebelah kiri. Marmer tinggi yang ditegakkan di bagian paling belakang patung mayat-mayat bertuliskan nama-nama korban pembantaian.

Upacara belum dimulai tapi para peserta diminta berkumpul sesuai dengan plot tempat upacara masing-masing sekolah. Kami --dan juga murid-murid dari sekolah lain, yang membedakan hanyalah badge yang tersemat di saku dan lengan samping seragam, malah berpencar melihat ini dan itu. 

Hari masih pagi tapi panas matahari sudah terik bukan main. Mataku silau namun sempat sekilas membaca tulisan pada dinding bagian pengesahan:

Monumen keganasan PKI ini kita persembahkan kepada para generasi muda untuk mengingatkan kebrutalan dan kekejam musuh-musuh Pancasila dan perjuangan bangsa tegakkan dan pertahankan terus Pancasila dan UUD 1945.

Kresek, 10 Juni 1991

Soelarso

Gubernur Jawa Timur

”Katanya ganas tapi kenapa malah dibikin monumen? Dan, diperingati dengan upacara bendera?“

”Yang diperingati bukan peristiwa bunuh-bunuhannya, Cuk, tapi kesaktian pancasilanya.“

”Kegiatan upacaranya digunakan sebagai peringatan mengenang jasa para pahlawan. Mereka gugur mempertahankan NKRI dan Pancasila dari ideologi komunis,“ sahut yang lain lagi.

Cuuk. Penjelasan barusan kalimatnya sempurna betul kayak sedang membaca teks buku pelajaran sejarah.

”Sebentar, lah. Apa kejadian PKI di Madiun dengan hari Kesaktian Pancasila terjadi di tahun yang sama?“

"Kata marmer pintu masuk, peristiwa Madiun terjadi di tahun ’48,“ kataku ikut menjawab. 

”Oh?“ seru yang lain lagi.

Banyak sekali murid-murid sekolah lain di sekitar kamk. Semua bercampur dan ikut menimbrung bicara begitu saja.

”Tadinya aku kira di sini adalah tentang peristiwa PKI ’65, dan patung mayat ditumpuk di depan adalah lubang buaya.“

”Bukan,“ ada yang menyahut lagi, suaranya terdengar setengah kurang yakin. ”PKI ’65 membunuh para jenderal yang dimasukkan ke Lubang Buaya terjadi di Jakarta.“

Penthol mengisap rokok. ”Kita sekarang di sini sedang memperingati hari Kesaktian Pancasila – berarti memperingati peristiwa ’65?“

”Ya.“ Ada yang lain lagi yang menyahut.

”Peristiwa di Jakarta tahun ’65 diperingati di tempat terjadinya peristiwa di Madiun tahun ’48? Aku bingung.”

”Ya, kalau mengikuti upacara di Jakarta, bisa bangkrut pemerintah kota Madiun mengongkosi kita semua.”

”Benar...!" Penthol mengangguk-angguk. ”Logis sekali.“

”Memangnya kamu paham?“ tanyaku.

”Enggak,“ sahutnya ringan. 

Segerombol murid perempuan yang berada di dekat kami menoleh dan melihatku diam-diam.

Aku perhatikan badge yang tersemat di seragam mereka – uh, SMA unggulan di kota Madiun. Sekolahnya murid-murid pintar. Tidak heran – meski merengut raut muka mereka terlihat seperti cerdas begitu. Sayang sekali tidak ada yang cantik. Kebanyakan nyaprut dengan dahi berkerut serius kayak lipatan halaman buku pelajaran.

Lihat selengkapnya