Bahkan Jika Aku Harus Patah Hati

Desi Puspitasari
Chapter #1

Kami yang Keras Kepala

Seperti Minke Pada Annelies

Aku punya pacar. Namanya Silviana. Anaknya manja, cengeng, keras kepala, dan luar biasanya menyebalkan. Tapi, aku cinta dia. 

Rasa sayangku pada Silviana seperti Minke kepada Annelies. Berbeda, saling mencintai, tidak mau lepas, tapi mau tidak mau tetap harus berpisah. Mulanya aku tidak tahu siapa Minke dan Annelies kalau tidak membaca koleksi perpustakaan yang disimpan dalam rak di pojokan dan baris paling tersembunyi. Aku membaca saat sedang linglung karena putus cinta. 

Aku dan Silviana pacaran diam-diam. Kami jadian saat aku SMA kelas dua dan Silviana kelas satu. Hubungan kami sudah terjalin hampir dua tahun. Semuanya berjalan dengan baik, kami tidak ketahuan, aku masih bisa pura-pura marah saat Silviana mencubitku --padahal hatiku senang bukan main, sampai aku terlibat tawuran. Aku sempat ditangkap polisi tapi berhasil kabur dengan melompat naik bus sembarangan dan terdampar di sebuah terminal kecil di Ponorogo. Aku tak punya cukup uang dan tidak ada yang bisa dimintai pertolongan sehingga aku menghubungi Silviana.

”Anak perempuan saya pergi sendiri ke luar kota hanya untuk menemui anak Sampean!“ Ayah Silviana meninggikan suara sementara anaknya berdiri di belakang dengan tersedu – bahunya sampai berguncang-guncang. ”Silviana pergi tanpa pamit dan pulang saat malam sudah begitu larut! Apakah begundal cilik anak Sampean yang bernama Kris ini tidak memikirkan kami orangtua Silviana akan khawatir dan begitu ketar-ketir!?"

Jujur saja tidak. Untuk apa memikirkan perasaan orangtua Silviana, kok kayak hidupku ini kurang bermasalah aja. Kok, seperti kurang pekerjaan aja. Aku kira Silviana juga tidak memikirkan kekhawatiran orangtuanya. Malahan waktu itu ia enteng saja menjawab telefonku. ”Ya. Silviana akan menyusul. Tunggu ya, Kris.“

Tindakan begundalku yang melibatkan Silviana inilah yang membikin kami ketahuan.

Pak Pambudi, ayah Silviana, berdeham dua kali. Silviana mendongak. Mukanya merah dan bengap seperti habis disengat tawon.

”Kris,“ suaranya serak dan sengau. ”Kita putus ya, Kris.“

Bagaimana?

Silviana mendeham-deham sampai seraknya hilang. Sekarang suaranya jauh lebih jelas—jauh-lebih-menyakitkan. ”Kita putus, Kris.“

Putus artinya kami tidak pacaran lagi. Padahal kami baru saja bersepakat bahwa kami telah saling cinta dengan begitu bersungguh-sungguh. Saking begitu dalamnya rasa cinta kami, tidak ada lirik lagu cinta yang mampu melukiskan apa yang kami rasakan. Bahkan, oleh Dewa19 atau Slank sekalipun. 

”Siapa itu Dewa19? Slank?“ Silviana menyela. Bus jurusan Madiun datang dan aku sempat melihat mata bulat itu mengerjap polos.

Siapa Dewa 19 dan Slank? Tentu saja Silviana tidak tahu, ia hanya kenal Memes!

Sekarang kami harus berpisah.

Ayah Silviana berdeham lagi.

Tidak mencolok, tidak menarik perhatian, tidak bertemu siapa-siapa. Itu kenapa sebaiknya kita duduk di bangku paling belakang. Perkataan Ibu kembali terngiang.

Rahangku mengeras. Aku harus menahan diri. Tidak diperkenankan membikin ribut. Akan bagaimana hubungan kami nanti, pasti akan ada jalan keluar. Kalau tidak ada, ya, aku bisa membuat jalan keluar sendiri.

”Ya. Kita putus,“ kataku.

Silviana memekik tanpa suara. ”Enggak mau!“

Aku pun tidak mau. Tapi, keadaan memaksa untuk harus mau. Bagaimana lagi?

Pambudi menghela napas. Bahu dan tubuhnya yang sedari tadi tegap kaku seperti patung Kolonel Mahardi yang berdiri di Alun-alun Madiun mengendur. ”Terima kasih untuk pengertiannya, Nak Kris.“

Aku tidak butuh ucapan terima kasih itu. Untuk apa? Mengganjal pintu? Ucapan terima kasih tidak bisa mempersatukan lagi aku dengan Silviana. 

Ayah Silviana sedikit bicara dengan Ibu. Ibu sesekali mengangguk kecil. Tangis Silviana mulai reda. Ia balas menatapku dengan merengut. Bibirnya maju bersungut-sungut. Jelek, mirip ulat daun. 

”Remaja sulit dipercaya. Perilaku mereka sulit ditebak. Kita meleng sedikit, mereka membikin kacau. Itulah, Bu, sebaiknya Ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sungguh-sungguh pada Nak Kristiawan. Supaya anak ibu aman, anak perempuan saya juga bisa belajar tenang.”

Saat ayah dan anak perempuan itu sudah melaju pulang, ibu bergumam gusar. ”Kenapa orang itu!?”

Aku tidak bisa banyak menjelaskan kecuali aku dan Silviana tidak membikin onar, todak melakukan tindakan yang kelewat batas saat berdua-duaan saja di terminal Ponorogo. Supir dan kernet bus Patas bisa menjadi saksi. 

”Nasihatku dari dulu sampai sekarang masih sama: jangan membikin ribut, jangan bikin onar.“

Aku tidak akan lupa. Cuma, kadang aku tidak peduli.

”Dan, jangan merusak anak perempuan orang.”

Aku tidak pernah ada niatan merusak Silviana. 

Silviana Tidak Mau Putus

”Kris! Silviana enggak mau putus!”

Aku tidak tahu siapa yang berteriak tapi dengan mendengar suaranya sepertinya.… Aku mundur dengan hati-hati untuk memeriksa. Silviana berdiri di halaman rumah. Tangannya membentuk corong di depan mulut. ”Kris! Akoo... enggaakk... maoo... potooos...!”

Aku perhatikan lagi dengan sungguh-sungguh. Benar, kok, itu Silviana. Rambutnya yang biasa tersisir rapi kini berantakan seperti gulungan rafia kusut. Seragamnya yang biasa rapi kini terlihat begitu lecek. Ini yang kemudian menjadi hal aneh bagiku; dengan penampilan tidak keruan seperti ini, Silviana malah terlihat jauh lebih cantik ketimbang sebelum-sebelumnya.

Siang ini aku menyadari sesuatu. Selain badan linu-linu, rindu ternyata juga bikin siwer.

Pekerjaanku membetulkan genting baru selesai separuh. Semalam hujan turun begitu deras sehingga menggeser beberapa bagian genteng sampai rumah sedikit banjir. Tapi, aku memutuskan turun. 

”Kris! ”Kris! Akoo... enggaakk... maoo... potooos...!”“ ulangnya. ”Kris! Akoo... enggaakk... maoo.... berpisah Jadi, sebaiknya kita balikan sekarang!“

Tanpa tedeng aling-aling, seperti biasanya.

”Tadi ke sini naik apa?“ tanyaku.

Lihat selengkapnya