Menunggu Silviana
Aku bisanya cuma nekat dan keras kepala. Bertindak semaunya seolah tidak punya rasa takut. Namanya juga anak muda. Ya, nggak?
Tas Alpina biru tipis dilempar melewati tembok dan jatuh berkerompyang. Kami segera merunduk mundur bersembunyi di antara sepeda.
”Cuuk...! Garangan itu enggak bawa kotak pensil!” hardik salah seorang teman.
Penthol didorong hingga tubuh besarnya menyenggol salah satu ban sepeda. Sepeda itu kemudian menyenggol sepeda yang lain. Pelan-pelan deretan rapi sepeda doyong ke kanan.
Aku bergegas menahan sepeda. Jangan sampai menambahi keributan atau aku enggak jadi bisa colut. Sepeda berhasil bertahan tapi kini bentuknya doyong kayak warung gubuk pinggir pantai.
Guru konseling yang kebetulan lewat berjalan mendekat ke arah parkiran. Melongok sekadarnya lalu pergi. Kami bergerak maju lagi dengan kecepatan curut super. Satu per satu melompati tembok. Saat tiba giliranku, seorang kawan menahan. ”Kau terakhir, Bung. Bantu dia dulu,“ katanya sambil menunjuk Penthol. Biasanya ada dingklik pancatan tapi tak tampak kali ini. Barangkali dibawa pergi tukang kebun sekolah atau malah guru konseling.
Kini hanya tinggal kami berdua. Penthol mundur mengambil ancang-ancang kemudian – hap! Tangannya berhasil menggapai bagian atas tembok. Sekuat tenaga ia mengangkat badannya. Berat sekali kelihatannya. Kakinya dipancat naik, lalu melorot. Kaki yang satunya lagi diangkat, lalu melorot. Berkali-kali begitu. Dinding terlalu licin untuk dipanjat atau ianya yang memang terlalu gembrot.
”Cuukkk...!“ maki Penthol.
Aku membantu mendorongnya dari bawah. Salah satu kakinya akhirnya berhasil naik. Saat berada di tengah, ia melongok dan berseru. ”Aku turun, lho. Kalau kamu nanti kesulitan naik, enggak akan ada yang membantu.“
Mengangkat bokong saja susah, sekarang bicara dengan begitu soknya.
Penthol melompat turun. Terdengar mak gedebug keras sekali. Tawa kami meledak tapi segera berhenti. Seseorang berdesis mengingatkan supaya kami tidak terlalu ribut atau akan ketahuan.
Aku mundur sedikit dan membikin kuda-kuda tangguh, lalu melompat ringan.
Sudah banyak yang berkumpul di warung. Kami biasa ke sini untuk membolos di tengah jam pelajaran yang membosankan. Sewadah tembakau rajang tersedia di meja. Entah milik siapa tapi semua sudah menjumput yang melinting rokoknya masing-masing.
Rokok tingwe – melinting dhewe (sendiri).
Penthol melebarkan kertas pembungkusnya, menata rajangan tembakau memanjang, gulung, jilat bagian tepi kertas lalu rekatkan. Sebelum disumet baiknya dihirup dulu aroma wangi tembakaunya. Sedang aku yang ingin menjumput tembakau, malah keliru mencabut Gudang Garam dari kaleng merah.
”Zaman dulu enggak menggunakan kertas kayak begini, tapi daun jagung. Kelobot,“ kata salah seorang di antara kami.
”Iya, ye?“ tanya Penthol kurang yakin.
Dingklik kayu telah penuh. Aku berjongkok di salah satu sudut dekat keran.
”Kebiasaan menggulung sendiri rokok itu sudah ada jauh sebelum ada mesin pelinting.”
”Iya, ye?” Penthol disambit sebungkus kacang marning.
”Apa hubungannya dengan daun jagung?”
”Dulu kertas susah didapat. Itu kenapa kemudian menggunakan daun jagung.“
”Kenapa enggak pakai daun pisang?“
”Biar enggak keliru dikira pepes pindang.“
Aku hampir tersedak karena tertawa tiba-tiba.
”He, Kris!” Tiba-tiba kepalaku ditimpuk plastik kacang bawang. ”Salah bakar udut.”
Aku berhenti tertawa. Seharusnya bagian putih yang disulut tapi aku malah membakar bagian filter.
”Mikir apa, sih, Kris!?”
”Pacar.” Aku mengembus asap pertama. ”Sebentar lagi malam minggu kok, ya.“
”Kris sama Silviana mau pergi keluar kota,“ sahut Penthol. ”Kemarin sudah janjian. Cuma berdua.”
”Kalian mau begituan?“
”Jangan sampai hamil, Kris. Enggak enak punya anak kalau kamu masih muda begitu. Kalau sudah dapat, tinggal saja.“
”Iya. Toh, sebentar lagi lulus. Pindah kota lain, enggak usah kasih kabar, beres.“
”Tunggu dulu. Memangnya Silviana mau diajak begitu? Kayaknya enggak mungkin.”
”Di dunia ini enggak ada yang enggak mungkin. Kris yang diciptakan Tuhan saat kebelet ngising begitu saja bisa punya pacar luar biasa ayu.“
”Memangnya Kris punya duit buat nyewa kamar hotel?“
”Jelas enggak. Melarat begitu. Paling nanti juga di pinggir kali menggunakan alas kardus.“
”Enggak sekadar begituan.“ Semua langsung diam begitu mendengar aku bersuara. ”Kami akan kawin lari.“
Selain ketawa ger-geran, semua yang ada di warung menjadi ramai mengumpat. Tapi, dengan cepat semua makian itu tiba-tiba terhenti. Berganti dengan seruan heran. ”Lhooo…?"
Silviana muncul di depan warung dengan menumpukan tangan di lutut sementara mengatur napas. Ia kemudian mendongak dengan masih sedikit terengah. Matanya menelusuri satu per satu kami.
”Halo, Mbak Silvianaaa…!”
Begundal-begundal ruwet yang memandang segala sesuatu di dunia ini dengan suram seperti televisi hitam putih tiba-tiba menjadi ceria.