“Siapa itu Dewandaru? Apa Ayah tahu tentang pria itu?” Rosy langsung mengajukan pertanyaan penting tanpa basa basi lagi.
“Dulu … siapa yang tidak tahu Dewandaru. Dia adalah teman satu angkatan Ayah dan juga kakak kelas dari Ibumu. Dewandaru yang biasa dipanggil Dewa adalah idola sekolah saat itu bahkan hingga kuliah, hal itu tetap tidak berubah. Dewa yang berdarah campuran Belanda-Indonesia, dikenal karena memiliki wajah yang sangat tampan. Hidung mancung, alis tebal, garis wajah yang tegas, bibir merah, kulit putih nyaris mirip salju dan tubuh yang tinggi sudah seperti bintang Kpop jaman sekarang. Tak ada alasan gadis-gadis tidak mengidolakan Dewa. Ditambah lagi, Dewa suka sekali bernyanyi dengan bermain gitar, membuatnya semakin digilai di sekolah. Bahkan gadis-gadis dari sekolah lain sengaja datang ke sekolah kami, hanya untuk bertemu dengan Dewa dan memberikan surat cinta mereka pada Dewa.”
“Tidak heran Ibu suka padanya.” Rosy bergumam kecil membayangkan gambaran yang Rama buat mengenai cinta pertama dari Anjani. Entah kenapa gambaran itu membuatku teringat akan seseorang yang juga digilai di kampus.
“Tapi jangan salah, Rosy. Meski Dewa adalah idola sekolah, awalnya Ibumu dulu tidak menggilai Dewa seperti kebanyakan gadis-gadis lainnya. Ibumu bahkan sempat tidak tahu jika Dewa adalah kakak kelasnya.”
“Itu aneh, Yah.”
“Memang aneh, tapi memang itu awalnya.”
“Trus gimana akhirnya Ibu bisa jatuh cinta kepada pria bernama Dewandaru?” Baru saja Rosy mengajukan pertanyaan itu dan matanya menatap ke arah surat-surat cinta milik Anjani yang dilipat dalam bentuk pesawat kertas. “Pesawat kertas itu-“
“Ya, alasan Ibumu jatuh cinta pada Dewa adalah pesawat kertas itu. Kalau Ayah tidak salah ingat tahun itu adalah tahun 1995 di mana Ayah bersama dengan beberapa teman Ayah termasuk Dewa dan Ardiana-sahabat baik Dewa datang ke sekolah lama kami di mana Ibumu masih bersekolah.”
Tahun 1995.
“Sepertinya baru kemarin kita masih sekolah di sini.” Ardiana bicara dengan senyuman lebarnya ketika tiba di depan gerbang SMA 1 Jakarta di mana dirinya pernah sekolah.
“Ya rasanya seperti baru kemarin kita datang ke sekolah ini,” balas Dewandaru.
“Aku penasaran.” Ardiana menyipitkan matanya menatap Dewandaru.
“Apa yang membuatmu penasaran, Ardiana?” tanya Basuki penasaran.
“Lebih baik jangan penasaran, Dian!” balas Dewandaru.
“Kalian tentu tahu dengan baik, di antara semua anak laki-laki di sekolah, selalu Dewa yang jadi pusat perhatian dan digilai oleh banyak gadis.”
Basuki, Dimas dan Rama menganggukkan kepalanya dengan senyum pahit.
“Kami tahu. Bahkan ketika kita semua sudah kuliah, hal itu tetap tidak berubah. Selalu saja Dewa yang menerima banyak surat cinta, selalu Dewa yang menerima banyak coklat di hari valentine dan selalu saja Dewa yang pertama kali ditanyakan oleh gadis-gadis cantik,”ujar Dimas dengan nada mengeluh.
“Di dekat Dewa, aku merasa aku tidak akan bertemu dengan jodohku. Karena mata jodohku pasti akan melihat Dewa lebih dulu dan tidak menyadari keberadaanku,” tambah Basuki.