Tik. Anggara menjentikkan jarinya ketika melihat Rosy duduk melamun di dekat lapangan basket bahkan hingga tidak menyadari kedatangan Anggara yang sudah duduk menatap wajahnya selama beberapa menit.
“Rosy? Rosy??” Anggara mencoba memanggil Rosy.
“Ya?” Rosy kaget karena mendengar panggilan Anggara. “Ah, Kak Anggara. Kok bisa di sini? Kapan datang?”
“He he he.” Anggara tertawa kecil melihat wajah kaget Rosy. “Aku udah duduk di sini sejak tadi, Rosy. Apa yang kamu lamunkan sampe gag sadar aku udah duduk di sini?”
“I-itu …” Rosy memiringkan kepalanya, ragu untuk menceritakan apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.
“Kalo nggak mau cerita, nggak papa kok.”
“Bukannya nggak mau cerita, cuma bingung aja mau mulai dari mana.”
“Ehm, aku punya banyak waktu buat menunggumu cerita.”
Mendengar ucapan dari Anggara, Rosy menatap Anggara dengan wajah heran. “Tunggu sebentar!”
“Ya, aku tunggu.”
“Kenapa Kakak kemari?” tanya Rosy.
“Penasaran liat kamu melamun. Jadi aku kemari.”
“Itu aja?” tanya Rosy lagi.
“Ya, itu aja.”
Awalnya Rosy tidak sadar jika para penggemar Anggara sedang memperhatikan dirinya yang duduk dan didatangi langsung oleh Anggara, tapi setelah melihat cepat sekelilingnya, Rosy sadar bahwa semua tatapan sedang mengarah padanya.
“I-itu … “ Rosy langsung bangkit dari duduknya dengan membawa tasnya. “Aku ingat ada yang harus aku lakukan, Kak. Maaf, permisi dulu, Kak.”
“Rosy, tunggu!!”
Anggara berteriak mencoba menghentikan langkah kaki Rosy. Tapi Rosy mengabaikan panggilan itu dan terus berjalan menjauh. Beruntung Laras lewat di dekat lapangan dan Rosy langsung menghampiri Laras dan memaksa Laras untuk berjalan bersamanya.
“Bukannya tadi kamu bareng sama Senior Anggara, kenapa malah lari nyamperin aku?” Laras langsung bertanya ketika Rosy berhenti memaksanya berjalan bersamanya.
“I-itu … “ Rosy menyentuh kepala Laras dan membuat Laras melihat ke arah penggemar Anggara. “Aku merasa tatapan penggemar Kak Anggara bersiap untuk membunuhku tadi. Jadi aku pergi untuk menyelamatkan nyawaku.”
“Ha ha ha ha!” Laras tertawa mendengar jawaban Rosy. “Harusnya kamu senang, Rosy? Apa yang Senior Anggara tadi lakukan adalah bentuk lain yang mengatakan pada penggemarnya bahwa dia tertarik padamu.”
“Itu jelas nggak mungkin!” Rosy langsung menyangkal. “Tiba-tiba begini rasanya jadi aneh.”
“Kamu benar juga, Rosy. Emang sedikit aneh sih.” Laras setuju. “Tapi bukankah ini kesempatan emas untukmu? Apa kamu ingin terus menyukai Senior Anggara dalam diam selamanya hingga wanita lain mengambil kesempatan emas itu dan merebutnya?”
Mendengar ucapan Laras, Rosy teringat kembali dengan kisah Anjani. Apa aku harus mengatakan pada Kak Anggara jika aku menyukainya sejak lama? Tapi jika aku melakukannya dan Kak Anggara tidak pernah menyukaiku, bagaimana aku akan muncul di hadapannya nanti? Aku pasti malu sekali.
Malam harinya.
Rama-Ayah Rosy kembali melanjutkan cerita dari kisah cinta Anjani dan Dewandaru di masa lalu. “Sampe mana kemarin, cerita Ayah?”
“Ardiana mendekati Ibu dan mulai membantu Ibu dekat dengan Dewandaru.”
“Ah benar sampai pada titik itu rupanya.” Rama menganggukkan kepalanya mengingat bagian akhir kisah Anjani yang diceritakannya kemarin. “Seperti ucapan Ayah kemarin, berkat Ardiana, Ibumu akhirnya benar-benar dekat dengan Dewa. Ardiana selalu mengajak Ibumu ke manapun dia pergi dan beberapa kali mengundangnya ke rumah Ardiana di samping rumah Dewa.”