"Ibumu terus menulis surat cintanya hingga sepuluh tahun setelah Dewa menghilang sembari terus mendengar lagu-lagu dari Dewa 19 karena band itu dulunya adalah band kesukaan dari Dewa 19. Bahkan kebiasaan itu tidak berubah ketika Dewa 19 mengganti namanya menjadi Dewa. Tapi ketika melihatmu tumbuh menjadi anak yang menggemaskan dan selalu mengagumi dirinya, Ibumu perlahan melepaskan harapannya dan mulai berhenti menulis surat cintanya. Ibumu kemudian menyimpan semua surat itu dalam kotak tua yang kamu temukan. Mungkin sudah sekitar lima belas tahun kotak itu tidak pernah dibuka oleh Ibumu. Tapi meski begitu, Ayah tahu jauh di dalam hatinya, Ibumu ingin sekali saja bertemu dengan Dewandaru.” Rama mengakhiri ceritanya tentang kisah cinta Anjani dan Dewandaru.
“A-apa Ayah bahagia menikah dengan Ibu?” Rosy bertanya dengan air matanya yang kembali jatuh setelah selesai mendengar kisah cinta lama milik Anjani-Ibunya.
“Tentu saja Ayah bahagia. Kenapa tidak? Ayah punya kamu dan Ibumu. Meski waktu kami bersama tidaklah lama, Ayah sudah merasa sangat bahagia karena Ibumu memilih Ayah untuk jadi pasangan hidupnya dan menemaninya hingga mengembuskan napas terakhirnya. Meski Ibumu tidak pernah mengatakannya, Ayah tahu Ibumu mencintai Ayah dan juga sangat mencintaimu, Rosy. Jadi … tidak ada alasan bagi Ayah untuk tidak bahagia.”
Tes, tes. Air mata Rosy jatuh lagi, mendengar ucapan Rama-Ayahnya yang terus membela Anjani dan terus mengatakan hal baik tentang Anjani. Bahkan setelah semuanya, bahkan setelah semua surat itu ditemukan dan berisi curahan hati Anjani untuk Dewandaru, Rama terus membela Anjani sebagai suami yang baik. “Ayah, pria yang hebat. Jika bisa … aku ingin punya pasangan hidup seperti Ayah.”
Rama tersenyum mendengar pujian dari Rosy. “Ayah harap kamu bisa menemukan pria yang lebih baik dari Ayah. Pria yang kamu cintai dan juga mencintaimu, Rosy.”
Rosy menghapus air matanya dan memasang senyuman membalas senyuman Rama-Ayahnya. “Ya, Ayah.”
“Ini sudah malam, cepat tidur sana.”
Rama bangkit dari duduknya di ruang baca milik Anjani dan hendak menuju ke kamar tidurnya. Tapi sebelum melangkah pergi, Rosy memanggil Rama dan membuatnya terpaksa menghentikan langkah kakinya.
“Ayah.”
“Ya?”
“Ada yang ingin aku tanyakan?”
“Tanya saja, Rosy.”
Rosy menatap semua surat milik Anjani-ibunya di dalam kotak yang ditemukannya. “Menurut Ayah, kenapa Ibu terus menulis surat-surat ini meski tahu surat ini belum tentu bisa diberikan kepada pria bernama Dewandaru?”
“Apa kamu ingat surat terakhir yang Ibumu tulis, sayang?” Rama berbalik bertanya kepada Rosy.
“Ya, Ayah.” Rosy menganggukkan kepalanya sembari mengingat surat pertama yang dibacanya dari kumpulan surat cinta milik Anjani-ibunya.
“Di dalam surat itu ada kalimat ini di dalamnya, ‘Keyakinan yang mengatakan bahwa bahkan jika cinta ini tidak pernah kuutarakan, bahkan jika surat ini tak pernah sampai, aku akan tetap menulis surat cinta untukmu sebagai bukti cintaku padamu, sebagai hal terakhir yang mengingatkanku padamu, Dewandaru.’ Apa kamu ingat kalimat itu, Rosy?”
Rosy menganggukkan kepalanya lagi. “Ya, Ayah. Rosy ingat bagian itu.”
“Surat-surat itu adalah bukti cinta Ibumu pada Dewa, di saat yang sama juga bukti penantiannya akan janji Dewa dan bentuk penyesalan Ibumu akan semua kesempatan yang tlah dilewatkannya begitu saja untuk mengaku pada Dewa. Itu yang Ayah lihat. Dulu, melihat kedekatan Ibumu dengan Dewa dan berkat bantuan Ardiana, Ibumu harusnya punya banyak kesempatan untuk mengatakan perasaannya pada Dewa. Tapi karena banyak alasan entah itu faktor jaman atau faktor keberanian, perasaan Ibumu tetap disimpannya dan membuatnya berakhir dengan penyesalan.”
Rosy menundukkan kepalanya sedikit, berusaha untuk memahami alasan dari perbuatan Anjani. Jika aku yang berada di posisi Ibu, bagaimana perasaanku? Apa yang akan aku lakukan? Apa aku akan menyesal juga? Rosy mengangkat sedikit kepalanya dan mendapati Ayahnya yang sedang menyentuh kepalanya dan membelainya.
“Ayah minta pada Rosy, tolong jangan marah pada Ibumu. Bagaimana pun, Ibumu telah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai istri dan ibu. Bisa, Rosy?”
“Ya, Ayah. Rosy paham itu.” Rosy menganggukkan kepalanya. “Setelah mendengar cerita dari Ayah, Rosy nggak bisa membenci perbuatan Ibu. Membayangkan perasaan dan penantian panjang Ibu, Rosy juga ikut sedih.”
“Makasih, Rosy. Ibumu pasti akan merasa sedih jika tahu kamu membencinya.” Rama tersenyum mendengar jawaban Rosy dan mengangkat tangannya di atas kepala Rosy.