Anggara tentu kaget mendapati bahwa Rosy tahu tentang Ayahnya-Dewandaru. Tapi Anggara jauh lebih kaget ketika mendengar penjelasan singkat Rosy mengenai Anjani-Ibu Rosy dan Dewandaru-Ayah Anggara.
“Bisa aku ketemu dengan Ayahnya Kakak??” Setelah menceritakan kisah Anjani dengan Dewandaru di masa lalu dengan cukup singkat dan ringkas, Rosy kemudian meminta untuk bertemu dengan Dewandaru-ayah dari Anggara. “Aku harus bertemu dengannya dan meminta penjelasan. Janji itu membuat Ibuku menunggu selama bertahun-tahun dan kini Ibuku sudah meninggal. Setidaknya, aku harus tahu alasan Ayah Kakak menghilang di tahun 98 dan tak pernah muncul di hadapan Ibuku. Dan aku perlu memberikan sesuatu pada Ayah Kakak.”
Anggara yang kaget, tidak bisa berkata apapun. Anggara hanya meminta waktu kepada Rosy untuk bertanya kepada Ayahnya-Dewandaru lebih dulu sebelum membawa Rosy datang ke rumahnya.
“Akan aku kabari jika kamu bisa ketemu dengan Ayahku, Rosy.”
Satu hari terlewati.
Dua hari terlewati.
Dan setelah tiga hari lewat, Anggara baru mendatangi Rosy dan mengajak Rosy untuk bertemu dengan Ayahnya yang tidak lain adalah Dewandaru-cinta pertama Anjani-Ibu Rosy.
“Selamat siang dan salam kenal, Paman Dewa.” Rosy menyapa Dewandaru ketika tiba di rumah Anggara yang ternyata masih berada di Jakarta meski berada di pinggiran Jakarta dan berlawanan dengan rumah Rosy dan kampus Rosy di mana Anggara juga kuliah. “Saya Rosy. Ayah saya bernama Rama dan Ibu saya bernama-“
“Aku tahu. Kamu putri Anjani kan?”
Rosy terkejut mendengar selaan dari Dewandaru yang kini terlihat kurus dan lemah jika dibandingkan dengan Rama-ayahnya yang masih terlihat sehat bugar. Rosy melirik ke arah Anggara untuk bertanya tapi Anggara lebih dulu bicara.
“Aku nggak pernah menyebut namamu di depan Ayahku, Rosy. Aku hanya bilang … ada anak kenalan Ayah yang mencarinya.”
“Kalo gitu, gimana Ayah Kakak bisa tahu namaku??” tanya Rosy bingung.
“Aku tahu tentang dirimu, Rosy. Setidaknya saat kamu masih bayi, aku pernah melihatmu dan lagi wajahmu benar-benar mirip dengan Anjani, Rosy. Melihatmu sama seperti aku sedang melihat Anjani. Itu sudah cukup membuktikan kamu adalah anak Anjani.”
Dewandaru menjawab pertanyaan Rosy dan membuat Rosy bersama dengan Anggara kaget di saat yang sama.
“Anggara,” panggil Dewandaru.
“Ya, Ayah.”
“Bisa tinggalkan Ayah dan Rosy?”
Anggara melihat Rosy sebelum memberikan jawaban untuk permintaan Dewandaru. Rosy memabalas tatapan Anggara dengan senyuman dan Anggara paham arti senyuman Rosy itu. “Ya, Ayah.”
Setelah Anggara pergi dari ruang duduk di rumahnya dan membuat Rosy berdua saja dengan Dewandaru, pria cinta pertama Anjani itu mulai membuka mulutnya dengan menanyakan kabar Anjani dan Rama lebih dulu.
“Bagaimana kabar Rama dan Anjani? Apa mereka baik-baik saja, Rosy?”
“Ayah baik-baik saja. Tapi Ibu sudah lebih dari sebulan yang lalu meninggal.” Rosy menjawab dengan nada rendah.
Huft! Dewandaru menghela napasnya seolah ingin mengatakan bahwa dirinya merasa sedih dan menyesal untuk kepergian Anjani. “Bagaimana Anjani meninggal?”
“Sakit leukimia sama seperti Kakek.”
“Paman ingin sekali datang menemui Rama dan Anjani, tapi Paman mengurungkan niat Paman itu karena tidak ingin mengganggu kebahagian Rama dan Anjani. Terutama Rama yang sangat mencintai Anjani.”
Rosy mengambil kotak tua milik Anjani dan memberikannya kepada Dewandaru. “Aku datang menemui Paman karena ini.”
“Apa ini?” Dewandaru melihat kotak tua yang diberikan Rosy.
“Ini surat cinta milik Ibuku yang ditulisnya selama sepuluh tahun semenjak Paman menghilang.” Rosy menatap sedih kotak tua milik Anjani. “Aku menemukan surat-surat ini setelah kematian Ibuku dan berkat semua surat itu, aku menemukan kisah Ibuku dengan Paman. Aku datang menemui Paman untuk meminta dua hal.”
“Apa itu?”