“Apa yang terjadi, Paman?” Rosy mencoba bertanya karena Dewandaru menghentikan ceritanya sejenak.
“Bunda Dian yang disiksa, sekarat dalam perjalanan dan kami harus membawanya ke rumah sakit terdekat.”
Mei 1998
“Bunda!! Bunda harus bertahan! Demi Dian dan demi Dewa juga, Bunda.” Dewandaru bersama dengan ayahnya menemani Ibu Ardiana sementara Ardiana dan ayahnya sedang mendapatkan perawatan karena mengalami siksaan yang cukup buruk. Dewnadaru terus berusaha menguatkan Ibu Ardiana.
Ibu Ardiana tersenyum lemah mendengar panggilan Dewandaru. “Dewa tahu kan, Bunda udah anggap Dewa seperti anak Bunda sendiri?”
Dewandaru menganggukkan kepalanya. “Ya, Bunda. Dewa tahu. Dewa juga anggap Bunda kayak Ibu Dewa sendiri.”
Tes, tes. Air mata Ibu Ardiana jatuh. “Bunda minta tolong bisa, Dewa?”
Dewandaru menggenggam tangan Ibu Ardiana dengan kuat. “Apa itu, Bunda?”
“Ma-sa depan Ardiana sudah hancur karena Bunda dan Ayahnya gagal menjaganya. Kalau bukan karena Dewa dan ayahmu, mungkin kami semua sudah tewas. Bunda harusnya berterima kasih pada kalian berdua, tapi mengingat umur Bunda tidak akan panjang, Bunda tidak bisa menahan permintaan ini.”
“Bunda jangan sungkan. Dewa anak Bunda kan??” Melihat Ibu Ardiana yang bicara dengan susah payah, Dewandaru ikut menangis karena merasa bahwa kali ini dia akan kehilangan Ibu untuk kedua kalinya.
“Bunda titip Dian yah, Dewa. Jagain Dian kayak Bunda jaga kamu dulu. Bisa Bunda minta itu?”
“Kamu ini bicara apa??” Ayah Dewandaru yang juga tidak bisa menahan tangisnya, angkat bicara. “Dian juga sudah seperti anakku sendiri. Tentu aku juga akan menjaganya dengan baik.”
“Senang mendengarnya. Terima kasih banyak dan maaf aku harus merepotkan kalian berdua.”
Tes, tes! Air mata Rosy jatuh ketika mendengar cerita tentang kemalangan Ardiana yang datang beruntun. Anggara yang duduk di samping Rosy pun juga ikut menangis meski tidak bersuara. Beberapa kali Anggara menghapus air matanya tapi air mata itu tetap jatuh sama seperti air mata Rosy.