Pada suatu pulau yang bernama pulau Tzinsen, pulau yang teramat indah bagaikan pecahan surga yang di jatuhkan sang pencipta sebagai hadiah bagi Negara Bahrik. Suasana hangat yang diiringi lantunan melodi dari gelombang ombak bercampur dengan kehidupan bahagia di sana. Warga lokal dan turis manca-negara terlihat meramaikan suasana di pesisir pulau tersebut. Di belakang pesisir itu terlihat sebuah gedung megah, jendelanya bersinar memantulkan cahaya sang surya, dan di balik kaca gedung itu, terlihat seorang pria yang berdiri dengan sorot mata tajam bagaikan sorot mata singa yang akan menerkam mangsanya, sorot mata itu melirik ke kiri dan ke kanan seolah sedang mengawasi keramaian di pulau Tsinzen.
Dialah Plou seorang pengusaha muda yang pandai dalam mengatur strategi perdagangan, perusahaan yang ia pegang sekarang memiliki cabang di semua belahan negara Bahrik. Tak aneh jika ia sangat handal dalam perniagaan sebab, terdapat darah keturunan ras pedagang yang mengalir dalam tubuhnya. Akan tetapi, dibalik kesuksesannya itu terselip rasa hampa dan kegelisahan dalam hati pria ini.
Siang itu dalam ruangan kantor, Plou terlihat ia sedang sibuk membaca laporan perusahaan, jilid demi jilid ia periksa dengan penuh ketelitian. Di samping tempat ia duduk, berdiri tegak seorang wanita berseragam rapi, ia adalah Ista sekretaris yang selalu setia mengabdikan dirinya untuk kemajuan perusahaan milik Plou. Ketika Plou sedang sibuk dengan tugasnya, tiba-tiba dering telepon pun terdengar.
"Ista, tolong angkat telpon itu". Pinta Plou.
"Baik, pak". Jawab Ista sembari mengangkat telepon tersebut.
Kemudian Ista pun mengangkat telepon itu. Rupanya, orang yang menelepon itu adalah ayah Plou yang menanyakan kabar anaknya dan kabar perusahaannya.
"Pak, ini ada telepon dari pak presdir". Ucap Ista sambil memberikan telepon itu pada bosnya.
Sambil duduk menghadap keluar jendela melihat ke sekitar gedung, Plou berbincang ringan dengan sang ayah, setelah beberapa saat berbasa-basi, ia kemudian memberitahu sang ayah bahwa keadaan perusahaan baik-baik saja. Setelah membahas soal perusahaan ia pun mulai bercerita bahwa dibalik kesuksesannya itu terdapat sedikit kegelisahan dalam hatinya.
"Ya ampun Plou, sebenarnya apa yang kamu pikirkan? harta kamu sudah banyak, kebahagiaan kamu pun sudah terjamin, istri pun kamu tinggal pilih. Lantas, apa yang kamu harapkan selain dari apa yang kamu miliki sekarang?". Ujar ayahnya dalam telepon tersebut.
"Bukan seperti itu pah, dalam kesuksesan ini entah apa itu aku juga tidak tahu. seakan ada lubang yang belum terisi dalam hidupku". Jelas Plou.
Di sela perbincangan itu, tiba-tiba Plou samar melihat pada sebuah keramaian toko di sekitar perusahaannya, terlihat ada seorang anak yang mencuri apel dari salah satu toko buah di sana. Anak itu pun lari dari pedagang yang mengejarnya. Entah apa yang ada di pikiran Plou, tiba-tiba ia bergegas keluar dan mematikan telepon dari sang ayah.
Selepas Plou sampai di halaman perusahaan, ia menghampiri satpam dan bertanya ke mana larinya anak yang dikejar tadi.
"Pak, apa bapak melihat seorang anak yang sedang dikejar barusan?". Tanya Plou pada si satpam.
"Ohh yang dikejar pedagang apel bos? Bocah itu lari ke gang depan sana". Jelas satpam itu sambil menunjuk ke arah gang tersebut.
Setelah mendengar informasi dari satpam, Plou langsung berlari menuju ke arah yang di tunjukan satpam. Sesampainya di gang itu, ia melihat anak yang mencuri apel tadi sedang dipukuli oleh pedagang. Melihat kejadian itu ia pun segera melerainya.
"Sudah cukup, apa yang sebenarnya terjadi?". Tanya Plou sembari menahan pukulan dari si pedagang apel itu.
"Bocah ini mencuri apel milikku pak". Jawab si pedagang dengan nada marah.
"Sudah cukup pak. Biar saya ganti semua kerugian bapak". Ujar Plou menenangkan si pedagang.
Setelah itu Plou pun memberikan segepok uang sebagai ganti rugi kepada si pedagang. setelah semuanya beres ia membopong bocah itu ke ruangannya untuk mengobati luka memar ditubuh si bocah pencuri tersebut. Sesampainya di ruangan, ia menyuruh Ista untuk mengobati bocah itu.
Dengan tangan lembutnya, Ista mengobati luka bocah itu dengan penuh hati-hati. Sembari bocah tersebut diobati Plou mulai bertanya mengapa ia sampai berani mencuri barang yang bukan miliknya.
"Nak, siapa namamu? dan Mengapa kamu sampai melakukan hal itu?". Tanya Plou.
Dengan penuh luka memar, bocah itu menjawab pertanyaan dari Plou. Bocah itu ternyata seorang yatim piatu, ia bernama Enna, gadis kecil yang hidup sebatang kara, tak punya orang tua dan sanak saudara. Segala cara ia halalkan untuk bertahan hidup di pulau Tsinzen ini.
Mendengar hal itu, Plou merasa iba serta berpikir ternyata masih ada orang-orang yang bernasib malang seperti bocah ini.