Hujan menyisakan mendung kelabu yang menggantung di langit atas kota kecil kami. Geledek kecil masih menggerutu di tengah laut. Semakin lama bunyinya semakin kecil, lalu minggat entah ke mana. Mungkin ia berpindah ke pulau seberang atau kota lain bersama embusan angin, atau berselingkuh dengan perempuan lain. Rerumputan di tepi jalan dan lapangan bola menjadi basah. Atap-atap rumah basah. Reranting dan dedaunan pohon angsana dan akasia di tepi jalan raya juga basah. Hati pun juga basah. Sisa-sisa air hujan yang menggelayut manja di ranting pohon lalu terjatuh setelah diguncang angin yang lewat tanpa permisi, lalu sebutir air itu terjun ke parit, menyatu dengan air yang lebih besar, untuk kemudian mengalir menuju sungai yang lebih besar. Lalu, sungai yang keruh itu berlayar sambil bersiul menyanyikan perjalanannya menuju lautan.
Memasuki tanggal 23 Oktober, hujan menyapa kota kecil kami yang berada di pinggir laut. Awalnya hujan menyapa dengan kaki-kaki kecil gerimis yang berlarian bersama anak-anak angin selatan yang menerpa wajah pepohonan. Anak-anak angin itu juga amat senang bermain dengan pohon-pohon kecil yang baru saja menyapa langit kehidupan. Terkadang, dengan iseng anak-anak angin itu mematahkan rantingnya atau daun yang masih muda. Membawanya agak jauh dari pohonnya, dan menelantarkannya di atas tanah. Tiap kali hujan hendak turun menyirami kota kecil kami, ibu-ibu segera mengangkat kain jemuran yang masih setengah kering. Bapak-bapak akan menggiring ayam dan bebek agar masuk ke dalam kandang. Kadang pula ada yang mengangkat beras karak dan jemuran bunga kamboja kuburan yang belum kering benar. Sebagian di antara mereka ada yang senang lantaran persediaan air dalam perut bumi semakin menipis, ada pula yang menggerutu karena atap rumah mereka ada yang bocor.
Memasuki musim hujan yang akan berlangsung sampai bulan Maret atau April tahun berikutnya, anak-anak akan merasa kesulitan ketika hendak berangkat ke sekolah. Begitu pun juga dengan orang-orang yang hendak berangkat kerja ke kantor, ke pasar, ke sawah, atau ke kebun karena tanah akan menjadi becek. Apalagi kalau gerimis turun dengan lambat dan lama. Tapi hal itu tidak berlaku untuk kaum kodok yang berada di lumbang. Para kodok bangkong akan bersuka cita sambil menyanyikan lagu kebangsaan mereka setiap kali memasuki musim penghujan. Bunga teratai akan bersemi dan berbunga sehingga menjadi istana yang sangat spesial bagi kaum kodok dan ikan emas. Di bulan-bulan itulah mereka akan memadu cinta untuk kemudian beranak-pinak untuk melangsungkan spesies mereka. Di musim itulah orang-orang akan melangsungkan pernikahan untuk melestarikan bangsa manusia.
Namun, di antara para manusia yang bersuka cita menyambut musim penghujan, ada sebagian manusia yang dicekam kesedihan karena tidak bisa mengais rezeki yang ditesebarkan oleh Tuhan, yaitu para nelayan. Dalam kondisi cuaca yang tidak bersahabat, yang kadang mendung, kadang hujan, mereka tidak bisa melaut.
Cahaya matahari yang sedari tadi tertutup mendung perlahan memperlihatkan diri di kaki langit barat, bersiap untuk pamit untuk kemudian melanjutkan titah Tuhannya di esok pagi. Lamat-lamat suara murattal ayat-ayat suci Al-Quran yang menguar dari corong toa menara-menara masjid mulai menyapa di sela-sela telinga, menandakan hari akan segera petang. Jubah jingga kemerahan perlahan mulai menutupi langit kota. Para malaikat siang mengepakkan sayap-sayapnya bersiap melesat ke langit untuk digantikan oleh malaikat-malaikat malam. Pohon angsana yang berdiri kokoh dengan pucuknya yang menyentuh kaki langit digoda oleh anak-anak angin selatan yang sedari tadi bermain-main dengannya. Namun, pohon remaja itu bergeming. Lalu, anak-anak angin itu mengacak-acak ‘rambutnya’ hingga rontok ke tanah. Namun, ada satu ‘anak rambut’ pohon itu yang terbang dan dibawa oleh anak-anak angin. Kadang tersangkut pada pohon lain, lalu terbang lagi, hingga ia terpelanting jatuh di bawah ban mobil sedan hitam yang terparkir di halaman sebuah kafe.
Tak lama kemudian, pintu mobil antik merk Civic itu terbuka. Sebuah ujung sandal hak tinggi menginjak tanah terlebih dulu, lalu diikuti oleh ujung sandal yang satunya hingga tampaklah sepasang kaki putih mulus yang terbungkus celana stayed warna krem. Semakin ke atas tampaklah baju warna putih berbahan katun yang didesain berenda-renda di bagian ujung lengannya. Pemiliknya adalah seorang perempuan muda berparas cantik. Perempuan muda itu menutup kembali pintu mobil sebelah kiri itu, lalu berjalan dengan cepat menuju ke kafe, sembari menggerutu.
“Sayang, memangnya ada apa sih?” suara seorang lelaki terdengar dari arah pintu kemudi. Tapi perempuan itu tidak meresponsnya sama sekali. Lelaki itu menutup pintu mobil dan segera mengejar perempuan muda tadi.
“Coba kamu katakan, sebenarnya ada apa?” Lelaki itu mengimbangi langkah perempuan muda itu.
Di depan mereka tampak sebuah kafe yang sangat luas. Bangunan kafe berupa kayu yang disanggah dengan pilar-pilar yang telah diolesi dengan ter hitam agar tidak dikunyah rayap. Bentuk atapnya mengingatkan kita pada rumah joglo yang semakin punah. Memangnya di mana kita akan menemukan rumah joglo di zaman kini? Di dalamnya tampak kursi-kursi monel warna hijau muda lengkap dengan mejanya yang berbentuk bundar. Di langit-langitnya, lampu neon kuning menggantung pada kabel pararel centang-perenang. Sebuah lagu India yang cukup populer di kalangan anak-anak muda ‘Tumhi Ho’ mengalun indah dari speaker kecil yang terpasang di tiap-tiap sudut kafe, sehingga membawa suasana romantis bagi setiap pengunjungnya yang mayoritas memang anak muda.
Gadis itu duduk di salah satu kursi kosong di sudut kafe. Memanggil pelayan kafe. Lantas ia memesan secangkir kopi susu latte. Lelaki itu juga duduk di kursi kosong di hadapan gadis itu. Ia juga memesan secangkir kopi cappucino.
“Coba katakan, sebenarnya ada apa?” lelaki itu bertanya dengan kalem sehingga gadis yang ada di hadapannya sudi untuk menjawab pertanyaannya.
Gadis itu menghela napas panjang.
“Aku ingin kita batalkan saja pernikahan kita, Mas,” kata gadis itu tegas tanpa pretensi apa pun. Spontan jawaban yang keluar dari mulut gadis berhidung mancung itu membuat kening lelaki itu berkerut. Batal? Kenapa?
“Apa alasannya sehingga membuatmu ingin membatalkan pernikahan kita? Apakah ada yang salah dengan pernikahan ini? Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?” lelaki itu memberondong gadis yang amat dicintainya itu.