Gerimis masih riang menyapa kota kecil kami. Setiap menjelang sore, ia akan datang menyiram kota sehingga ibu-ibu direpotkan untuk mengangkat kain jemuran yang kadang masih belum kering. Para penggembala sibuk menggiring kambing-kambing dan sapi-sapinya menuju ke kandang. Para petani juga dibuat repot dengan tanaman bawangnya agar tidak membusuk. Anak-anak yang bermain layang-layang di lapangan berupa bekas tanaman jagung sibuk menggulung benang gelas agar kertas layangannya tidak sobek. Mendung yang tadinya tipis seperti selembar sajadah semakin lama semakin tebal seperti berlapis-lapis dosa. Anak-anak angin selatan berlarian ke sana kemari di antara pepohonan bambu alas, rimbun pohon pisang, pohon-pohon lamtoro dan antena televisi. Terkadang mereka berkejaran di antara reranting dan daun hingga membuat bunga buah mangga berjatuhan ke tanah.
Di sebuah rumah sederhana. Dengan halamannya yang meriah dengan pelbagai jenis bunga dan pepohonan buah. Ada bunga kenanga, mawar, melati, aster, sedap malam, dan anggrek. Juga ada pohon jambu kristal, jambu jamaika, jambu bol, srikaya, dan alpukat. Rumah itu memiliki bingkai jendela model lama dengan dua kaca kecil di kedua tepinya, dan kaca besar di bagian tengahnya. Ram bingkai jendelanya dicat dengan warna kuning mentega. Begitu juga dengan pintu utamanya berwarna kuning hingga tampak kontras dengan dinding rumah yang berwarna putih. Lantainya berupa ubin yang dilapisi welirang batu baterei hingga tampak mengkilap. Genting atap rumah terlihat berlumut saking seringnya diguyur hujan dan panas.
Di ruang tamu rumah itu terdapat satu set kursi beludru motif bulu zebra, meja kaca riben hitam, satu unit buffet berukuran 2x1,5 meter yang menyatu di tembok, lalu ada satu unit mesin jahit manual merk tak penting yang diletakkan di dekat pintu, dan satu unit televisi tabung yang diletakkan di atas sebuah rak kayu buatan sendiri. Di dindingnya tampak sebuah bingkai foto seorang pemuda yang memakai baju toga, ia diapit oleh oleh orangtuanya yang tampak bersahaja. Di sebelah bingkai foto terdapat bingkai foto seorang kiai yang mengenakan kain sorban yang menutupi rambutnya, sebuah bingkai foto seorang pria yang mengenakan kemeja dan udeng khas Madura. Dalam keterangan di foto itu tertulis, “Sumenep, tahun 1700.” Di pintu tengah terdapat dua lembar gorden berwarna merah dengan motif bunga tulip.
“Kenapa kamu tidak mencoba untuk main ke rumah temanmu,” terdengar suara perempuan dari dalam ruang tengah, di balik gorden itu. Apabila didengarkan dengan saksama suaranya perempuan itu sudah tidak muda lagi.
“Maksud ibu Amir?” lalu terdengar suara pemuda.
“Iya, Amir. Sudah lama kamu tidak main kesana,” perempuan itu mengiyakan.
“Benar juga. Kenapa aku tidak main ke rumah Amir.”
“Sekalian kamu silaturrahim kesana.”
“Biarlah nanti aku akan mencari waktu yang tepat kesana.”
Di ruang keluarga rumah itu tampak seorang pemuda yang tengah duduk di hadapan laptop. Kedua matanya tertuju sepenuhnya pada layar laptop, sementara jari-jemarinya mengetik di tombol-tombol keyboard dengan lincah. Nama pemuda itu adalah Taufiqqurrahman. Ibunya biasa memanggilnya dengan nama Taufiq. Orangtua itu berharap dengan nama itu anaknya selalu memperoleh taufiq dari Yang Maharahman dan rahim. Usia Taufiq sudah menginjak 35 tahun. Tapi wajahnya masih seperti wajah anak muda, baby face. Tidak jarang orang menganggapnya masih berusia dua puluhan.
“Apakah kamu yakin kalau Lidia memang pernah memeriksakan rahimnya ke dokter kandungan dua bulan yang lalu?” tanya ibunya yang duduk di kursi ruang tengah. Perempuan paro baya itu menyalakan televisi yang telah diputar ke dalam.
“Aku yakin saja, Bu, karena dia membawa hasil pemeriksaan dari lab.” Pemuda lulusan salah satu dari kampus Malang itu menjawab tanpa mengalihkan kedua matanya dari layar laptop.
“Kamu kan sarjana yang jauh lebih berpendidikan daripada ibu masa tidak merasakan ada yang janggal dengan surat hasil lab itu, Le?”
“Selama ini Lidia tidak pernah berbohong padaku, Bu. Jadi mana mungkin dia akan membohongiku dengan menunjukkan surat hasil lab palsu?”
Perempuan bernama Aminah itu merasakan ada yang tidak beres antara hubungan anaknya dengan Lidia. Ia merasa bahwa gadis itu memang sengaja menemui seorang dokter spesialis kandungan dan meminta surat hasil lab palsu sehingga seolah-olah dia pernah memeriksakan rahimnya. Lalu dengan hasil yang menerangkan bahwa rahimnya tidak bisa dibuahi alias mandul itu, ia berharap bahwa Taufiq percaya begitu saja sehingga menerima alasannya. Oleh karena itu ia bertanya kepada Taufiq, apakah tidak seharusnya ditelusuri kebenarannya.
“Apakah kamu mengenal dokter itu?” tanya Bu Aminah kembali. Perempuan yang gemar sekali menonton sinetron itu membuka stoples berisi kue kacang.
“Aku tahu tempatnya sih, Bu. Tapi buat apa aku menelusuri kebenarannya?” Taufiq yang selesai menyimpan tulisannya memutar badannya dan menghadap ke arah ibunya. Lalu ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kursi ruang tengah itu.
“Ibu tahu kalau Lidia memang mencintaimu, sehingga dia mau bertunangan denganmu. Selama ini kalian memang tidak pernah cekcok sekecil apa pun masalahnya, tapi apakah kamu benar-benar yakin kalau dia tidak memiliki hubungan dengan pemuda lain?”
“Selama aku bertunangan dengan Lidia, tidak pernah dia berani dekat-dekat dengan pemuda lain. Waktu dia masih sekolah pun dia tidak pernah berpacaran.”
Bu Aminah meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolah menengah umum, bukanlah perempuan yang mudah untuk mempercayai apa pun. Sebelum kebenarannya belum terbukti dia tidak akan pernah yakin. Dia juga bukan tipe orang yang mudah dikompori oleh orang yang hendak mengadu domba dirinya dengan orang lain. Selain itu dia juga termasuk orang yang objektif dalam melihat sebuah perkara.
“Tidak ada salahnya kalau kamu menelusuri kebenarannya dengan menemui dokter kandungan itu.”
“Tidak perlu lah, Bu. Kejadiannya sudah lama. Tidak perlu kita ungkit kembali. Biarkan saja Lidia membohongi aku, kalaupun ternyata dia memang membohongi aku. Siapa tahu dia bukan jodoh yang terbaik untukku.” Taufiq berkata dengan tegas. Dia adalah pemuda yang tidak banyak neko-neko dengan menelusuri sesuatu yang tidak jelas. Dia bukan termasuk pemuda yang mudah menyerah dan putus asa.
“Ya sudah kalau kamu sudah mengikhlaskan Lidia. Tapi ingat loh usiamu sudah berapa, Le. Umurmu sudah tiga puluh lima tahun. Teman-temanmu yang lain sudah banyak yang menikah.”
“Aku akan pergi ke rumah Amir. Siapa tahu di sana aku mendapatkan pencerahan.” Taufiq bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke dalam kamar. Tak lama kemudian, dia sudah mengenakan jaket jeans biru yang senada dengan celananya. Tak lupa ia menyambar kunci kontak sepeda motornya. Ia tidak memiliki mobil, mobil Civic dua bulan yang lalu adalah milik ayah Lidia.
Sebelum pergi ia mencium tangan ibunya dengan takzim.
***
“Iiihhh.... “ Seorang gadis mengenakan jilbab warna pink meremas sebuah koran tadi pagi dan dilemparkannya ke atas meja. Lalu ia menyilangkan kedua tangannya di dada. Wajahnya merah padam seakan tulisan yang barusan ia baca telah membuat dirinya marah, jengkel dan emosi yang bercampur menjadi satu.
Dari dalam ruang tengah muncul seorang perempuan paro baya yang mengenakan jilbab warna biru tosca dan jubah motif batik dengan membawa sebuah mangkuk berisi bubur kacang ijo yang masih panas. Lalu perempuan itu menyodorkan mangkuk tersebut kepada gadis tadi. Ternyata perempuan itu mendengar kalau anaknya sedang marah.
“Kenapa, Nduk?” tanya perempuan itu. Ia menatap ke arah koran yang remuk di atas meja.
“Siapa yang tidak jengkel sama dia, Bu, sampai sekarang dia masih suka menulis cerita yang selalu menyebut-nyebut namaku.” Gadis itu mencium aroma bubur kacang ijo yang sangat harum bau pandan. Seketika nafsu makannya bangkit. Ia langsung mengganyang bubur kacang itu buatan ibunya itu.
“Dia siapa maksudmu?” Ibu mengernyitkan keningnya tidak paham dengan maksud anaknya.
“Ibu baca saja judul cerita pendek yang dimuat di koran itu!” Ia menunjuk ke arah judul tulisan yang dicetak tebal di halaman rubrik ruang sastra di halaman koran yang teronggok di atas meja. Ibunya langsung memungut koran dan membaca judul tulisan yang ditunjuk oleh anaknya itu.
“Memangnya kenapa dengan judul tulisan ini, Nduk? Apakah kamu kenal dengan penulisnya?” Ibu melihat ke arah anaknya yang mengunyah bubur. “Bagus dong kalau namamu disebut di dalam cerita pendek. Kalau ibu boleh tahu, siapa nama penulis itu?”
Ibu duduk di kursi sebelah anaknya yang khusyuk mengunyah bubur kacang ijo yang sudah tinggal separo itu.