Baihaqqi; Guru Honorer

Bai Ruindra
Chapter #3

Bagian 3

Sabda Ahmad di dalam lakon panjang kisah ini. 

“Kamu pulang saja, Baihaqqi. Sekolah saya sedang membutuhkan guru bantu!” 

“Apa saya akan diterima?”

“Tentu. Ijazah Fisika masih langka!” Sabda Ahmad yang sudah lulus PNS tahun 2006 menyakinkan saya. 

“Apa saja yang pertama harus saya lakukan?” 

“Kamu cukup siapkan surat lamaran dan lampirkan ijazah,” 

“Bagaimana kalau tidak diterima?”

“Saya sudah rekomendasikan kamu ke Kepala Sekolah,” 

“Apa yakin saya bisa mengajar di sana,”

“Inysaallah, kamu pasti diterima,” 

“Saya masih kurang yakin dengan mengajar,” 

“Kamu bisa mantapkan diri kalau sudah terjun langsung,” 

“Saya masih ingin cari kerja di sini dulu,” 

“Kerja di sana cuma harapan semu,”

“Aku tidak tahu itu,”

“Kapan-kapan kau bisa dipecat, seperti sekarang,”

“Radio tempatku kerja bangkrut,” 

“Sama saja kalau mau dianalisa,” 

“Guru honorer apa harapan ke depan?” 

“Kamu bisa diangkat jadi pegawai kalau lulus pemutihan. Banyak kawan saya yang sudah lulus pemutihan, ada yang sertifikasi juga,”

“Apakah semudah itu? 

“Yang penting data kamu sudah masuk dulu,”

“Apa yakin pemutihan masih ada nanti?”

“Kita tak tahu kebijakan pemerintah. Kalau ada data di sekolah, saat dibutuhkan kamu sudah terdaftar,” 

“Iya juga,”

“Harapan lebih besar kalau kamu mengajar sekarang. Jadi guru itu enak kerjanya setengah hari, kalau sudah PNS nanti gaji besar dan pensiun juga aman,” 

“Kamu sudah merasakan itu,”

“Kamu juga akan merasakan hal yang sama,” 

“Saya ikut tes tidak lulus,”

“Belum rezeki, makanya mengajar dulu di sekolah,” 

“Kalau belum ada pemutihan masih ada harapan dipanggil sertifikasi,”

“Apa semudah itu?” 

“Kawan saya banyak. Di sekolah saya juga beberapa sudah lulus sertifikasi dan status mereka masih honorer, sekarang lagi proses pemutihan,” 

“Kalau sudah sertifikasi ada gaji tiap bulan ya?”

“Benar. Sama seperti guru pegawai yang sudah sertifikasi. Bedanya guru honorer yang sudah sertifikasi cuma dapat gaji sertifikasi saja sesuai masa kerja dan golongan,” 

“Guru sertifikasi ada golongan juga?”

“Ada. Disesuaikan dengan masa kerja. Lama bekerja tentu akumulasinya lebih tinggi dibanding orang yang lebih pendek masanya,” 

“Kamu juga bisa berhemat kalau di kampung,” 

“Oh ya?” 

“Misalnya kamu lulus sertifikasi, gaji pokok sekitar 2,5 juta. Pengeluaran kamu nggak sampai setengah dari itu,” 

“Iya,”

“Coba kamu bandingkan di kota, pemasukan kamu 5 juta tapi pengeluaran bisa 6 juta,” 

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Kamu sendiri yang cerita kalau di kota sering duduk di warung kopi, sering pergi ke kafe, sering belanja baju baru, dan sering menghabiskan waktu bersama teman tiap malam,” 

“Saya mungkin bisa mengubahnya dari sekarang,” 

“Saya malah berpikir kamu makin menjadi-jadi,”

“Orang bisa berubah,”

“Kamu bisa sebut begitu. Kamu lupa kalau kehidupan kota ada pasang surut. Hari ini buka kafe baru, kamu ke sana. Besok ada diskon di toko pakaian, kamu borong banyak,” 

“Semua bisa diatasi,”

“Jika kamu di kampung saya yakin. Pemasukan banyak bisa hemat bertahun-tahun,” 

“Tapi, kan, untuk sampai dipanggil sertifikasi masih lama,”

“Itulah gunanya kamu sabar,” 

“Padahal saya masih bisa mencari kerja di sini,” 

“Kamu belum tentu bertahan lama,”

“Sertifikasi bertahan lama?”

“Iya. Kamu tetap dibayar sertifikasi sampai tidak mengajar lagi. Kamu nggak perlu bingung karena pemerintah sudah menjanjikan itu, bedanya saja belum PNS,” 

“Kalau tidak lulus tes,” 

“Kamu bisa coba tahun depan lagi. Asalkan nama kamu terdaftar dan sudah layak ikut sertifikasi,” 

“Kalau tidak saya tetap mengajar tanpa dibayar?”

“Sekolah saya bayar kok guru honorer,”

“Berapa itu?” 

“10 ribu perjam. Kalau kamu dapat banyak jam bisa menghasilkan juga. Belum lagi kamu mengajar les di sekolah, kamu juga bisa mengajar les di tempat kawan saya, nanti saya ajarkan cara mudahnya,” 

“Pergi pagi pulang sore juga berarti,” 

“Saya juga begitu, kalau tidak mana ada pemasukan tambahan,”

“Kamu sudah PNS butuh pemasukan tambahan?”

“Gaji saya setengah sudah dipotong bank,”

“Tapi kamu masih ada harapan tiap bulan,”

“Saya juga butuh tambahan. Les di sekolah sekali pertemuan dibayar 60ribu, kalau seminggu ada 2 kali bisa berapa kamu dapat. Les di tempat kawan saya, sekali pertemuan 100 ribu, kalau seminggu kamu ada 3 kali saja, berapa kamu dapat,” 

“Itu tidak bertahan lama juga kan?”

“Benar,”

“Musiman,”

“Tidak bisa dibilang begitu juga,” 

“Kalau sekolah buka les, kalau tempat les kawan kamu itu ada siswa,” 

“Benar,”

“Sama saja saya tak ada harapan yang jelas,” 

“Hitung-hitung sambil kamu menunggu dipanggil sertifikasi, sambil menunggu ikut tes CPNS, dan sambil menunggu pemutihan juga,” 

“Lama kalau begitu,” 

“Kalau kamu rajin, sebulan bisa dapat 1,5 juga. Honor dari sekolah, honor dari les, kamu bisa simpan sebagai tabungan,” 

“Kalau libur pemasukan juga kosong,”

“Itu risiko. Disitulah kamu harus pandai mengelola uang,” 

“Saya jenuh kalau sebulan libur sekolah,” 

“Kamu bisa kerjakan hal yang lain,” 

“Kalau kamu buat apa?” 

“Saya nggak banyak karena tetap digaji,” 

“Saya apa?”

“Kamu bisa berkebun, tanam sayur, tanam cabai, tanam apa saja yang bisa menghasilkan,” 

“Saya tidak pandai itu,” 

“Nanti pandai sendiri. Ada kawan saya tiap panen bisa jutaan,” 

“Rugi juga bisa jutaan kalau gagal panen,”

“Itu risiko,” 

“Saya tak mau ambil risiko, saya mau yang pasti-pasti saja,” 

“Kamu cukup yakin kalau mengajar di sekolah nanti lulus pemutihan!” 

“Kamu seyakin itu?” 

“Kamu tidak yakin, sekarang mau melakukan apa?” 

“Saya masih mencari,”

“Ambil kesempatan yang ada sekarang, kamu nggak akan rugi,”

“Mengajar di sekolah?” 


“Apalagi yang kamu tunggu?” 


“Saya belum yakin,” 


“Apa yakin dapat kerja lain di kota?” 


“Saya sedang mencari,” 


“Bagaimana orang tua kamu?”


“Minta saya pulang?”


“Untuk apa?”


“Mengajar di sekolah!” 

Lihat selengkapnya