Baihaqqi; Guru Honorer

Bai Ruindra
Chapter #4

Bagian 4

Pak Adam laptopnya sudah padam. Ia mencari-cari charger laptop di tas samping miliknya. Buka resleting depan. Tutup kembali. Buka resleting bagian tengah. Tutup lagi. Buka releting bagian belakang. Tutup lagi. 

Ini akan lama. Batin saya. 

Anak-anak sudah mulai ribut di dalam kelas. 

Pesawat kertas beterbangan. 

Lengkingan manja terdengar di sudut kelas. 

Ada yang sedang merias wajah. 

Ada pula yang sudah terlelap. 

“Ada, Pak?” tanya saya. 

“Perasaan saya simpan di sini,” ujar Pak Adam. 

“Coba dicari lagi, Pak,” 

Uban di rambutnya terlihat jelas di rambut yang disisir klimis. Kumis dan jenggotnya sudah memutih. Dua atau tiga tahun lagi Pak Adam sudah menikmati masa-masa yang ditunggu, yaitu pensiun! 

“Masyaallah,” pekik Pak Adam. 

“Ada apa, Pak?” saya ikut terkejut. 

“Charger saya taruh di meja belajar tadi malam,”

Baiklah kalau begitu. Saya pamit ke ruang guru untuk menyelesaikan pekerjaan tambahan. 

“Pak Baihaqqi, saya pinjam laptop sebentar,”

“Tapi, Pak…,” 

“Saya masuk sampai jam terakhir,” lalu Pak Adam memanggil seorang anak mengikuti saya ke ruang guru. 

Baiklah. Saya memang harus begitu selalu. 

Dua orang anak dengan enggan mengikuti saya ke ruang guru. Langkah mereka dalam kantuk berat. Celutukan mereka mengenai cewek kelas sepuluh yang ditaksir dan tak pernah berhasil memikat hatinya. 

“Pak, kenapa belum kawin?” tanya Rahmat dengan gaya perlentenya. Rahmat terkenal seorang siswa yang tampan di sekolah kami. Suka merayu adik kelas dan sering memberikan harapan palsu. 

“Bapak nggak laku ya?” celutuk kawannya, Deni, yang ditolak anak kelas sepuluh tadi.

“Kamu yang tadi nggak laku,” jawab saya. 

“Bapak nguping ya?” 

“Suara kalian bagai petir,” 

“Duarr!” pekik Rahmat. “Ayo, Pak. Kasih tahu kenapa belum kawin,” 

“Belum ketemu jodoh,” 

“Jodoh pasti bertemu, Pak,” kata Rahmat. 

“Jodoh di tangah mertua, Pak,” kata Deni. 

“Jodoh di tangan Tuhan!” kata saya. 

“Benar!” jawab Rahmat dan Deni bersamaan. 

“Tapi, Pak. Kenapa Bapak belum kawin-kawin juga?” Rahmat nggak akan pernah berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban. 

“Belum ketemu jodoh,” 

“Bapak nggak laku ya?”

“Belum ada yang cocok,”

“Pasti bapak nggak laku,” 

“Kok kamu tahu?”

“Karena Bapak guru honorer!” Rahmat dan Deni terkekeh.

“Apa hubungannya?” kejar saya. 

“Bapak kasih makan apa anak istri nanti. Kawin itu berat, Pak. Sekarang ini ya, cewek itu cari uang biar senang hidup,” 

“Kok kamu tahu, Mat?” 

“Saya kan pujangga cinta,”

“Berarti kamu bayar cewek-cewek itu semua biar mau jadian sama kamu?” 

“Nggak begitu, Pak. Ketampananlah nomor utama, kalau Bapak beda!” 

“Kenapa saya beda?” 

Lihat selengkapnya