Semua siswi menoleh. Tertuju pada satu gadis remaja berbinar muka. Tersenyum ringan tanpa beban.
"Kamu kenapa, Nun?!"
Semua heran. Mendadak tertimbun hening seisi kelas. Nun mengulangi ucapannya.
"Ya. Aku mau mati duluan," ujar gadis 15 tahun. Tampak antusias dan senang. Sambil unjuk jari tinggi-tinggi.
Nun. Seorang siswi di antara semua penghuni kelas. Tentu membuat siapapun yang berada di sana, melongo heran dalam diam. Takut dan khawatir kalau-kalau Nun meracau atau malah kesurupan.
"Begitu, Bu ...."
Kenang Dea, mengisahkan tentang Nun, beberapa hari lalu. Semua bicaranya Nun, terekam di otak teman-teman satu kelas. Dea, salah satu teman dekat Nun.
"Dia bilang seperti itu?!" Terbelalak, mamanya Nun. Tak percaya. Sembari kedua mata jatuh pandang pada kain kafan membungkus tubuh putrinya yang baru saja meninggal.
Nuansa sedih pilu. Duka merundung satu keluarga. Acara tahlil sedang berlangsung. Isak mamanya kembali basah oleh air mata duka.
Nun. Sore ini meninggal dunia.
Kemarin, obrolan santai ketika jam istirahat sekolah. Antusias, satu persatu siswi mengutarakan impiannya.
"Lulus SMP, aku mau mengajukan beasiswa ke Jepang," kata Dea pada teman-temannya.
"Aku punya kolega dan sangat besar kemungkinan mendapat beasiswa," tambah Dea percaya diri.
"Wah, keren!" puji teman-temannya.
"Kalau aku sekeluarga, mau pindah ke kota metropolitan. Tentu melanjutkan sekolah SMU favorit di sana," timpal Yuri. Tidak aneh, Yuri salah satu siswi unggulan di kelas.
"Kalau kamu, Zar?" satu pertanyaan beralih pada Zara, siswi di kelas yang paling suka makan. Tak heran tambun pipinya. Badan segar gemuk, agak lemot kalau menangkap pelajaran.
"Pengen nikah aja!" jawabnya dan langsung meledak tawa teman-teman yang ikut nimbrung.
"Ah, kamu! Kemudaan, nanti kecil kecil ngurus anak," cibir teman-temannya pada Zara. Tapi si Tambun itu cuek saja, sambil mengunyah kudapan ringan.
"Biarin!" asal saja Zara menjawab, "Yang penting dapat suami kaya!"
Gelak tawa teman-teman melihat tingkah Zara seperti biasanya.
"Eh, kalian mau tahu nggak, apa impianku?" tiba-tiba Nun menyeletuk. Sejak tadi ia fokus pada satu buku pelajaran Bahasa Indonesia.
"Lha, apa impian kamu, Nun?" tanya Dea.
"Aku mau mati, terus dapat hadiah surga!" jawab Nun, meringis namun berbaur rasa senang.
"Hah?!" tentu semua teman-temannya terkejut.
"Hayo, siapa yang mau mati duluan?" celetuk Nun. Tidak ada yang menjawab pertanyaan aneh seperti itu. Malah semua tercengang.
"Ya sudah, kalau begitu ... Aku duluan ya!" tambah Nun justru makin merasa senang. Makin teman-temannya bungkam melongo.
Mereka menoleh pada Nun. Itulah hari terakhir Nun hidup di dunia dan bersama teman-teman satu kelas. Dan hari ini. Dea, melanjutkan kisah itu pada mamanya Nun.