Di ponsel yang Senja pegang, muncul sosok sang ibunda. Senja mengamati ibunya yang sedang berusaha tersenyum namun tertahan oleh selang oksigen yang mengitari bagian sisi pipi kanan dan kirinya. Senja pun berusaha menampilkan hal serupa. Dirinya bahkan beberapa kali menelan ludah guna menstabilkan nada bicaranya agar isak tangisannya tak terdengar sang ibunda.
"Alhamdulillah Ibu udah bisa ngobrol sekarang. Maaf ya, Bu ... Kakak baru bisa pulang ke sana Jumat besok," ujar Senja.
"I ... ya ... eng ... gak ... apa ... apa ...," jawab Bu Rahayu tertatih. Hati Senja teriris saat mendengar dan melihatnya seperti itu. Baru kali ini dirinya mendengar sang ibu berkata perlahan dan seperti menahan sakit. Mungkin karena selang NGT (Naso Gastrik Tube) yang bersarang di mulutnya itu.
"Iya ... alhamdulillah pagi ini, Ibu udah sadar. Udah dimandiin juga sama Kak Paula. Barusan juga Ibu udah makan. Makannya dari selang ini," tutur Esa sembari menunjukkan selang yang menempel di hidung Bu Rahayu. "Ini selangnya buat ngasih makan sama obat. Jadi langsung masuk ke lambung."
Senja yang sering melihat drama korea tentang rumah sakit tak asing dengan benda-benda itu. Namun, hatinya tetap merasa perih sebab ada benda-benda asing yang bersarang ditubuh ibunya.
Senja masih mengamati. Di kedua mata sang ibu tampak berembun. Dirinya merasa menyesal tak bisa segera mendampingi sang ibunda. Panggilan itu segera disudahi karena petugas medis sedang memeriksa kondisi bidadari dunia Senja.
**
Menjelang kepulangan Senja dan Bakti ke Kota Mangga, kabar baik tak henti-hentinya datang dari grup keluarga Senja. Sang adik, Regina Trikusuma, sering membagikan perkembangan sang ibu. Mulai dari anggota gerak tubuhnya yang sedang diterapi, makanan yang masuk, obrolan-obrolan ringan, dan lainnya.
Tanpa Bakti ketahui. Senja seringkali melihat lagi dan lagi jadwal keberangkatan kereta ke Kota Mangga. Senja berharap ada jadwal yang cocok. Sayangnya, lagi-lagi semesta tak berpihak. Embusan napas Senja terdengar sebagai jawaban kegundahan yang sedang dirasakan.
Ayah Usman
[Kak, alhamdulillah Ibu sudah pulang. Sekarang baru saja sampai rumah.]
Pesan ayahanda Senja muncul saat dirinya tengah sibuk membersihkan rumah. Ponselnya diletakkan sembarang di ruang keluarga. Senja selalu melakukan hal itu saat kesedihan, kegundahan, maupun kebingungan yang melanda. Lebih baik banyak beraktivitas guna meminimalisir pikiran negatif yang akan menyerang alam pikiran.
**
Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Senja mulai menampakkan dirinya di kaki langit. Waktunya bagi Bakti untuk segera menuntaskan pekerjaannya di kampus. Ada hal yang sejak siang hari dipikirkannya. Semua pesan yang dikirimkan kepada sang istri, tak ada satu pun yang dibalas. Ia mulai gelisah. Saat jarum jam menunjukkan pukul 16.00 wib dirinya langsung bergegas pergi. Menuju tempat parkir roda dua. Mengenakkan pelindung kepala. Menyalakan mesin. Dan ... kuda besi itu pun bergerak. Menembus keramaian jalanan Kota Pelajar.
Degup jantung Bakti mulai memainkan irama tak beraturan. Saat membuka pintu rumahnya. Keadaannya sangat gelap. Hening. Beberapa kali salamnya tak dijawab Senja. Herannya ... kondisi rumah sangat bersih. Dirinya mematung sejenak. Bahkan mulai bersenandika.
"Apa mungkin istriku pergi tanpa memberi kabar? Tapi ... tidak mungkin Senja pergi tanpa mengunci rumah. Lagipula kami hanya memiliki satu kunci. Atau bisa jadi Senja sengaja mengambil jadwal keberangkatan sore hari agar waktunya bersamaan dengan kepulanganku? Jadi ... rumah tak perlu dikunci."
Bakti tersadar. Bukan waktunya bersenandika lebih dalam. Ia kemudian menyisir rumah. Mencari sosok istri tercintanya. Pintu pertama dibukanya. Kamar tidur. Nihil. Sosok yang dicari Bakti tak tampak. Kembali bergegas mencari di kamar mandi. Sama. Senja tak terlihat. Begitu pun di dapur. Ruang keluarga. Hingga teras belakang. Bakti mulai berperang dengan batinnya. Rasa kesel mulai muncul. Amarahnya sedikit naik. Segera di raih ponsel yang berada di dalam saku celana. Mencari kontak sang istri. Meneleponnya.