Keesokan harinya aku sudah berkacak pinggang didepan teras balkon kamarku yang berada dilantai 2. Aku menatap langit gelap yang masih pekat. Tidak hanya langit yang belum menunjukan aktifitasnya tetapi tetangga disekitar komplekpun masih belum menunjukan tanda-tanda kehidupan. Sangat sepi dan sunyi, seolah hanya diriku penghuni dunia ini. bahkan aku tidak mendengar kakak iparku yang biasanya sudah berperang didapur padahal hari ini bukanlah hari libur.
“Om dingin… tutup.” ujar suara imut yang menyembul dari balik selimut yang kupakai.
“Eh…,” aku terkejut melihat keberadaan keponakanku yang tiba-tiba berada dikamarku meringkuk mirip udang goreng teriyaki. “Sejak kapan kau disini."
“Sejak mulut om menganga dan mengeluarkan suara menggeram,” ucapnya langsung membuntal badannya dengan selimut bak dadar gulung.
“Tumben sekali biasanya dia pagi-pagi sudah menggangguku,” aku hanya mengelengkan kepala dan masih melihat keadaan sekitar.
Angin mulai menusuk kulit dan membuat bulu tanganku meliuk-liuk tidak kuasa menahan terpaan angin. Aku merebahkan tubuhku dan menunggu telpon dari Asbul yang akan menghubungiku pagi-pagi, tapi kenyataannya ia tidak menghubungiku sedari tadi. Berkali-kali aku menatap layar HP, mungkin ada pesan ataupun panggilan yang tidak terdengar olehku tapi memang tidak ada pesan apapun. Aku semakin gelisah karena aku benar-benar menunggu pekerjaan seperti apa yang akan aku lakukan. Aku sudah lama sekali tidak melakukan hal seperti ini, dengan menunggu panggilannya saja membuatku benar-benar gugup. Aku menatap langit-langit yang semakin lama membuatku mengantuk namun aku tidak berani tidur karena takut akan telat. Aku langsung terjungkal melihat jam dinding yang berada didepanku. Aku menyadari keberadaannya yang terus berdetik namun aku tidak memperhatikan dirinya. Jam masih menunjukan jam 04.00 pagi. Huffftt masih pagi sekali padahal aku pikir sekarang sudah jam 05.00 pagi. aku benar-benar kesal pada diriku sendiri yang tidak bisa mengendalikan diriku, beruntung aku tidak menelpon Asbul bisa-bisa kena jurus ajian jangan goyang.
Aku turun kelantai bawah karena aku mencari sesuatu entah apapun itu yang bisa kusentuh. Hwahhh… mulutku terus menguap tapi aku tidak bisa dan tidak berani untuk tidur kembali. Keadaan dibawah sini masih gelap namun terdengar suara-suara berbisik dan bercahaya. Aku menghampirinya dan benar saja kakak iparku yang masih menggunakan celemek sedang asyik tidur. Zaman memang telah berubah, karena sekarang televisi yang asyik menonton orang tidur. Namun aku tidak kuasa untuk mematikan TV itu. nama dan wajahnya sedang disebut-sebut di pagi buta. Rindu ini tidak bisa terbantahkan namun aku takut untuk menemuinya. Aku tidak bisa menyalahkan rasa cinta ini karena cinta tidak ada yang mengetahui kapan itu tercipta. Aku juga tidak bisa menutup telinga ketika Hati ini ingin menjerit merasakan perih melihatnya. Air mata inipun selalu tumpah setiap kali mengingat, melihat dan mendengarnya. itu dulu sekarang hal itu sudah mulai bisa aku kendalikan meski tidak dengan rasa sakitnya.
Aku mulai terpaku dan terjebak melihat kehadirannya. Sedih ini membuatku kehilangan semangat. Cinta ini benar-benar menyiksaku, karena itu aku selalu menghindari apapun yang berhubungan dengannya. Aku langsung menuju dapur untuk melampiaskan kesedihan ini kebiasaan yang sulit aku hilangkan, hanya memasak pelarianku dalam masalah. Bak chef terkenal aku mulai bertarung menebas sayur dan bahan lainnya dan mulai memasak seingat dan semampuku saja.
Tanpa kusadari aku kelelahan dan akhirnya aku duduk disofa samping kakak iparku menutup mata dan tertidur dengan pulas lengkap demgan celemek dan sinduk yang masih ditanganku. Meski samar-samar aku mendengar keponakanku mengucapkan “kanana… kanana”. Setelah itu aku tidak mendengar dan merasakan apapun. Sampai aku terbangun, wajahku sudah berubah menjadi komik. Mataku yang masih setengah terbuka menatap wajahku dicermin. Jika sudah seperti ini dipastikan sudah pagi. Tapi ini bukan pagi melainkan Jam sudah menunjukan jari tengah, aku langsung buru-buru ke kamar mandi. Bukan untuk mandi melainkan hanya membasuh muka dan langsung cabut.
“Eh…,“ kakak iparku mencegatku dan menarik telingaku. “Mau kemana?”
“sakit kak.”
“Kau tidak sadar, semua yang ada didapur itu kanana." ucap kakakku kesal. “Kau harusnya tahu kita ini disini cuma berdua. Siapa yang mau makan."
Aku tidak lupa apa yang telah aku lakukan pagi tadi. Aku memasak semua yang ada dikulkas. Kakakku marah karena yang memasak semuanya yang berhubungan dengan masalahku dan masalahku pastinya hanya berhubungan dengan Katana. Aku memasak telur balado, tempe balado, tahu balada dan kentang balado. Karena itu keponakanku juga ikut memanggilnya “Kanana”. Kakakku marah karena makanan untuk stock beberapa hari kedepan hampir habis apalagi cabainya jangan tidak perlu dipertanyakan. kakakku marah besar kepadaku karena Keponakanku sudah pasti tidak bisa memakannya. Mau bagaimana lagi hanya dia kuingat, karena cintaku tidak sekecil namun sebanyak biji cabai.
Aku memohon ampun dengan segenap mimik melas diwajahku. Akhirnya kakakku memaafkanku dengan syarat aku yang harus menghabiskan sampai tidak tersisa. aku langsung mengiyakannya dan buru-buru kedapur melesat secepat kilat dan memasukkan makanan yang kubuat. tanpa basa-basi dan izin dari kakaku aku pergi kebasecamp. Dan Benar saja, mereka sudah menungguku bak ikan asin yang sedang dijemur. Mereka semua terkapar, diotakku kemungkinan mereka menungguku terlalu lama dari yang dijadwalkan. Itu bukanlah salahku. Entah mengapa justru aku terbangun jam 04.00 dini hari. Hal itu dikarenakan ulahnya yang ingin memberikanku pekerjaan dan membuatku tidak bisa tidur. Aku langsung membangungkan mereka yang masih menggeliat-geliat bak ulat keket yang terus maju nungging maju meringkuk sok imut. Akupun tidak berbohong ingin melakukan hal yang ada dikepalaku ini yaitu membuat bibir mereka merah dengan sambal baladoku, tapi aku tidak tega, meski dalam hatiku yang tidak berdasar aku takut kena bully mereka.
“To… Bull…. “ aku terus membangunkan dengan mengoyang-goyangkan mereka yang benar-benar sudah membeku. Hem.. ham… Hemmm… hanya suara itu yang keluar dari mulut mereka. Dengan tubuh yang masih terkapar dan matanya yang masih terpejam. Aku hanya menatap mereka berdua dan melihat keadaan basecamp ku yang kini reot beneran karena ulah mereka yang tidur dengan asyiknya. Aku lelah membangunkan mereka, aku merenung sembari mencari-cari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatianku. Ingin menonton TV pasti dia lagi yang akan nemplok dilayar kaca.
“Jadi teringat dia kembali,” aku senyam senyum sendiri mengingat kenangan itu. Kenangan yang penuh dengan rasa langit awan mendung, hujan, petir dan pelangi. Dari seorang teman, musuh sampai menjadi orang yang dicintai. Sepi ini selalu membuatku teringat padanya. Darinya aku merasakan itu semua. Keangkuhan dan ambisiusnyalah yang membuatku terbius, meski rasanya sekarang aku sudah terlambat untuk mendapatkannya. Namun cinta ini tidak bisa hanyut oleh waktu. Seberapa keras aku melupakannya aku semakin mengingatnya. Semakin mengingatnya, aku semakin merindukannnya. Semakin merindukannya, aku ingin sekali menemuinya. Tapi aku tidak melakukan hal itu, begitu banyak pertimbangan yang aku takutkan akan terjadi. Aku rasa mungkin ini jalan terbaik untuknya meski tidak untukku.
Aku merebahkan tubuhku didekat mereka yang masih asyik menyenandungkan melodi dari mulut mereka yang bergetar. Aku memejamkan mata karena ingatan tentangnya yang sulit dilupakan. Keadaan seperti inilah yang biasanya aku selalu hindari, keadaan dimana aku tidak ada teman mengobrol, tidak ada kegiatan yang bisa aku lakukan. Karenanya keadaan seperti itu yang bisa membuatku kembali teringat kepadanya. Meski aku tidak ingin mengingatnya tapi dewa dibawah alam sadarku tiba-tiba memunculkan kembali memori tentangnya. Jika hal itu terjadi, aku biasa melampiaskannya kepada keponakan yang selalu saja bertengkar denganku, karena aku tidak berani masuk kedapur jika kakak ipar dalam keadaan sadar.
“Sebenarnya kau niat kerja tidak?” terdengar suara yang memaksa mata kiriku terbuka.
“Kalau tidak niat, tidak mungkin aku kesini.” ujarku padanya.
“Memangnya HPmu kemana? Aku telpon tidak diangkat-angkat. Sampai berjamur menunggumu," ucapnya lemas dengan mata yang masih merem melek, namun kekuatan hidungnya masih aktif, ia mendengus "sepertinya aku mencium sesuatu."
"Satu-satunya yang aku percaya itu penciumanmu Bul" ujarku.
"Beneran, serius dan tidak bohong tadinya itu telur balado mau aku gantung di AC, tapi sebagai TEMAN, aku jadi tidak tega membangunkan kalian yang mimpi basah" ujarku.
"Waaaahhh... Ternyata sudah gede," Asbul menunjuk-nunjuk sembari menghampiri makanan yang ku bawa sebelumnya, "Ternyata kau jorok mikirnya mimpi basah."
"Ya jelaslah jorok, itu lihat bantal sofa yang kau pakai basah. Itu iler apa air terjun," kecutku.
“Kerjaan apa yang akan kau berikan?” sambung suara Toto yang mencuat ke udara dengan polusi keluar dari mulut yang menganga besar bak buaya.
“Kebetulan tetanggaku sedang membutuhkan pengurus untuk anaknya, hanya tiga hari karena ibunya akan melakukan perjalanan keluar kota. Soal gaji tenang saja dia bukan orang yang pelit," jelas Asbul yang memberikan saran yang cukup menarik dan tidak terlalu sulit.
Aku hanya menganggukan kepala ketika mendengar saran dari temanku, aku merasa itu tidak terlalu sulit karena hanya menjaga seorang anak, namun jika dipikir-pikir lagi aku menjadi tidak yakin dengan ide itu. Karena aku tidak biasa mengasuh dengan benar seorang anak. Jangankan anak orang lain, keponakan saja aku rasa tidak ingin ku asuh. Tapi setidaknya berkat dia aku memahami sedikit demi sedikit tentang anak kecil. Aku tidak bisa dan tidak boleh terus-terusan seperti ini. Kini aku menyadari ternyata kepergian kakakku keluar negeri membuatku merasa menyesal. Aku juga tidak sanggup jika harus menerima kenyataan pahit ini jika aku bertemu teman dan sedang menggendong bayi atau membawa kereta bayi, apa yang akan dikatakan mereka tentangku? Mau di taruh dimana wajahku!.
“Heh… kenapa dengan wajahmu?” Toto membuyarkan lamunanku.
“Hah… apa…!!!” kataku bengong.
Setelah mempertimbangkan ide Asbul aku langsung memutuskan untuk menerimanya untuk saat ini dan aku juga tidak mungkin untuk mempertimbangkan lebih lama lagi karena sudah tidak ada waktu bagiku untuk mengeluh yang tidak pasti. Keesokan harinya aku langsung ke basecamp tempat biasa kami berkumpul untuk menemui Asbul dan menerima usulan darinya. Aku yakin niat yang baik akan memberikan hasil yang baik. Asbul sepakat untuk mengantarkan aku ke rumah tetangga yang dia maksud yang akan memberikan pekerjaan untukku.